Prasasti Kawali Salalah satu peninggalan kerajaan Galuh (makan11.blogspot.com)
Kerajaan Galuh merupakan salah satu kerajaan besar yang
pernah ada di Tatar Sunda. Berdiri sekitar tahun 612 Masehi dan berakhir tahun
1482 Masehi, saat kerajaan ini digabungkan bersama dengan Kerajaan Sunda di
barat dan bersatu dalam kebesaran panji Kerajaan Pajajaran. Berikut sejarah
mengenai raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Galuh :
1. Maharajaresi Wretikandayun (612 – 702 M)
Wretikandayun dilahirkan pada tahun 591. Pendiri Kerajaan
Galuh ini dinobatkan sebagai raja Kerajaan Galuh setelah ayahnya (Kandiawan /
raja Kerajaan Medang Jati) mengundurkan diri, tepatnya pada tanggal 23 Maret
612. Beliau mulai memegang kekuasaan
Galuh saat berusia 21 tahun.
Di bawah kekuasaannya, Angkatan perang Kerajaan Galuh,
semakin hari semakin kuat. Dengan demikian, saat itu Galuh menjadi suatu
kekuatan yang diperhitungkan oleh kerajaan-kerajaan lain. Bahkan, Galuh juga
telah membina hubungan kerjasama dengan kerajaan-kerajaan yang berada di Jawa
bagian tengah dan timur.
Karena Wretikandayun, dianugerahi umur yang panjang, maka
lamanya masa kekuasaan beliau sama dengan lama masa kekuasaan 6 orang raja di
Tarumanagara. Dimana saat itu, Galuh masih merupakan bawahan dari Kerajaan
Tarumanagara.
Pada tahun 670, Kerajaan Tarumanagara telah berganti nama
menjadi Kerajaan Sunda di bawah kekuasaan Tarusbawa. Keadaan itu dijadikan
alasan bagi Wretikandayun untuk memisahkan diri dari Tarumanagara / Sunda.
Kebijakannya itu diambil dikarenakan Kerajaan Galuh selanjutnya tidak ingin
diatur oleh generasi penerus Kerajaan Tarumanagara yang usianya lebih muda
(saat itu usia Tarusbawa lebih muda 41 tahun dari usia Wretikandayun).
Untuk menjalankan rencana pemisahan diri itu, Wretikandayun
mengirimkan surat kepada Tarusbawa, yang isinya adalah (dikutip langsung dari
buku Sejarah Jawa Barat karya Drs. Yoseph Iskandar) :
“ Sejak sekarang, kami bersama semua kerajaan yang terletak
dalam wilayah sebelah timur Citarum, tidak lagi tunduk di bawah kekuasaan
Tarumanagara. Jadi, tidak lagi mengakui Tuan (pakanira) sebagai ratu. Akan
tetapi, hubungan persahabatan di antara kita tidak perlu terputus, bahkan
mudah-mudahan menjadi semakin akrab.
Karena itu, daerah-daerah di sebelah barat Citarum, tetap
berada di bawah pemerintahan Tuan, sedangkan daerah-daerah di sebelah timur
Citarum menjadi bawahan kami, dan sejak sekarang kami tidak mau lagi
mempersembahkan upeti kepada Tuan. Kemudian, janganlah hendaknya angkatan
perang Tuan menyerang kerajaan kami, Galuh Pakuan, sebab tindakan semacam itu
percuma. Angkatan perang Kerajaan Galuh ada kira-kira tiga kali lipat angkatan
perang Tuan dan sangat lengkap persenjataannya.
Di samping itu, banyak kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan
Jawa Timur yang bersahabat dengan kami dan mereka sanggup memberikan bantuan
perlengkapan bagi angkatan perang kami. Hal ini Tuan maklumi. Nanti kami rukun
bersahabat sama-sama menghendaki kesejahteraan negara kita dan kecukupan
kehidupan rakyat kita serta bersama-sama menjauhkan malapetaka. Semoga Yang
Mahakuasa memusnahkan siapapun yang berwatak lalim dan culas serta tidak
mengenal perikemanusiaan (karunya ning cita ring samaya).”
Akhirnya Tarusbawa menerima tuntutannya dan kerajaan Galuh
menjadi sejajar Kerajaan Sunda, dengan sungai Citarum sebagai batasnya.
Wretikandayun memiliki permaisuri yang bernama Manawati
(puteri dari Resi Makandria / pendeta Hindu). Sebagai permaisuri, Manawati
diberi gelar Candraresmi. Dari pernikahannya itu, mereka dikaruniai beberapa
orang anak, antara lain :
1. Sempakwaja, lahir
tahun 620 kemudian menjadi raja dan resiguru di
Kerajaan Galunggung.
2. Jantaka, lahir tahun 622 kemudian menjadi raja dan
resiguru di Kerajaan Denuh.
3. Amara, lahir
tahun 624 kemudian menjadi penerus kerajaan Galuh.
Untuk menggantikan kekuasaannya, Wretikandayun menunjuk
Amara sebagai putera mahkota, hal ini terjadi karena anak sulungnya
(Sempakwaja) tidak dapat mewarisi tahta Galuh karena ompong (menurut tradisi
kerajaan, seorang raja tidak boleh memiliki cacat jasmani), begitu juga dengan
anak keduanya (Jantaka) yang menderita hernia. Berbeda dengan kedua kakanya
yang menjadi rajaresi (taat pada agama), Amara malahan tumbuh sebagai anak yang
bersikap liar.
Wretikandayun yang telah membawa Kerajaan Galuh menjadi
kerajaan yang kuat dan disegani, kebesarannya menjadi tercoreng akibat ulah
putera bungsunya (Amara) yang sangat dimanja oleh Wretikandayun.
Peristiwa itu berawal pada saat malam purnama, Wretikandayun
mengadakan pesta perjamuan yang dihadiri oleh para pembesar Galuh, tak lupa
ketiga anaknya diundang. Tetapi Sempakwaja
yang berada di Galunggung tidak dapat hadir karena sakit dan dirawat
oleh anak-anaknya, akhirnya Sempakwaja mengutus istrinya yang bernama Pohaci
Rababu untuk mewakili demi menghormati undangan sang ayah.
Pohaci Rababu yang berparas cantik membuat sang putera
mahkota Galuh (Amara) terpesona. Berawal dari pesta itu, akhirnya Amara dan
Pohaci Rababu semakin akrab. Amara yang terkenal perayu ulung telah
membuat kakak iparnya itu terbuai dan
melupakan suaminya. Pohaci Rababu tinggal di Keraton galuh selama 4 hari 4
malam dan terjadilah perbuatan skandal antara Amara dengan Pohaci Rababu.
Dari hubungan gelap itu akhirnya membuat Pohaci Rababu
mengadung bayi dari Amara. Sementara itu, Sempakwaja mengetahui bahwa istrinya
mengandung dari hasil hubungan gelap dengan adiknya. Namun, Sempakwaja terlalu
mecintai istrinya itu, sehingga seburuk apapun yang telah dilakukan oleh
istrinya, Sempakwaja tetap menerima Pohaci Rababu sebagai seorang istri. Akan
tetapi, Sempakwaja meminta kepada istrinya itu, apabila bayinya telah lahir
maka bayi tersebut harus diserahkan Amara.
Akhirnya pada tahun 661, Pohaci Rababu melahirkan seorang
anak laki-laki yang kemudian dibawa ke Galuh untuk diserahkan kepada Amara.
Setelah menyerahkan bayi tersebut, Pohaci Rababu segera pergi dari keraton
Galuh dan berkumpul kembai bersama suami dan anak-anaknya di Galunggung. Bayi
laki-laki tersebut kemudian oleh Amara diberi nama Bratasenawa (Sena).
Peristiwa memalukan yang dibuat oleh sang putra mahkota itu
menggemparkan kalangan keluarga keraton Galuh. Wretikandayun sebagai seorang
raja yang bijaksana kemudian meredakan
pergunjingan ini, dengan jalan meminta Amara untuk pergi ke Kalingga (sekarang
wilayah Jawa Tengah).
Di Kalingga, Amara dijodohkan dengan Dewi Parwati (puteri
dari pasangan Kartikeyasinga - Maharani
Sima / raja Kalingga). Dari pernikahannya ini, mereka dikaruniai anak perempuan
yang bernama Sanaha.
Melalui pernikahan
Galuh-Kalingga ini, maka Galuh mendapatkan dua keuntungan, pertama, citra buruk
dari Amara dapat dipulihkan, dan yang kedua, Galuh mendapatkan sekutu yang kuat
(Kalingga saat itu merupakan salah satu kerajaan terbesar di Nusantara).
Saat Kartikeyasinga wafat tahun 674, tahta Kalingga
diserahkan pada istrinya yang bernama Maharani Sima. Di masa pemerintahan
Maharani Sima, hubungan kerajaan Kalingga dengan kerajaan Sriwijaya memanas.
Maharani Sima wafat pada tahun 695 dan wilayah Kalingga
dibagi 2 kepada anak-anaknya. Melalui pembagian itu Dewi Parwati memperoleh
warisan bagian utara Kalingga, yang disebut Bumi Mataram. Dengan demikian, Amara
selaku suami dari Dewi Parwati dinobatkan menjadi raja Bumi Mataram.
Di Galuh, Wretikandayun wafat pada tahun 702, dalam usia 111
tahun. Amara yang menjabat sebagai raja Bumi Mataram dipanggil pulang ke Galuh
dan kemudian tahta Galuh dipegang oleh Amara.
2. Amara/Mandiminyak (702 – 709 M)
Amara menjadi raja Galuh ke-2 dengan gelar Mandiminyak.
Gelar itu diperoleh karena tubuh Amara selalu wangi dan bercahaya bagaikan
dibubuhi minyak. Saat itu, beliau memerintah di Galuh sedangkan kekuasaannya di
Bumi Mataram dipegang oleh Dewi Parwati (istrinya).
Amara memiliki 2 orang putera puteri dari kedua istrinya.
Dari hubungan gelap dengan kakak iparnya (Pohaci Rababu), lahir Bratasenawa.
Sedangkan dari permaisurinya yang syah (Dewi Parwati), Amara memiliki anak
perempuan yang bernama Sanaha. Kedua anak yang se-ayah itu kemudian dijodohkan
(perkawinan Manu) dan dari perkawinannya itu lahirlah Sanjaya (lahir tahun
683). Pada tahun 703, Sanjaya menikah dengan Sekar Kencana (cucu dari Tarusbawa
/ raja Sunda peratama).
Perkawinan antar cucu dari 2 raja besar di barat Jawa
tersebut, membuat kedudukan Amara menjadi semakin kuat walaupun kehadirannya di
Galuh tidak disenangi oleh beberapa kalangan. Masa lalu Amara yang pernah
membuat skandal, belum hilang di ingatan sebagaian kalangan keraton. Amara
wafat pada tahun 709, kemudian kekuasaan Galuh diserahkan pada anaknya yang
bernama Bratasenawa.
3. Bratasenawa
(709 - 716 M)
Beliau Lebih dikenal sebagai
Sena. Beliau merupakan Raja Galuh ketiga. Dia merupakan anak dari hubungan
gelap antara Amara dan Pohaci Rababu. Bratasenawa memiliki putera yang bernama
Sanjaya. Dari pernikahan Sanjaya dengan cucu Tarusbawa, maka Bratasenawa
dikenal sebagai sahabat baik dari Tarusbawa.
Sikap yang dimiliki Bratasenawa berbeda dengan sikap ayahnya
yang masa mudanya terkenal liar. Bratasenawa merupakan raja yang taat beragama
dan bijaksana. Tapi sikap baiknya itu tetap tidak dapat diterima oleh sebagian
pembesar Galuh, mengingat Bratasenawa adalah anak hasil dari hubungan gelap.
Banyak orang yang membenci keberadaan Bratasenawa sebagai
raja Galuh, tetapi hanya 2 orang yang sangat-sangat membenci Bratasenawa. Dua
orang tersebut adalah Purbasora dan Demunawan, mereka tak lain adalah putera
pasangan Sempakwaja dengan Pohaci Rababu. Dengan demikian mereka berdua adalah
saudara se-ibu dari Bratasenawa. Kedua orang itu sangat membenci Bratasenawa
dikarenakan mereka merasa lebih berhak untuk meneruskan tahta Galuh daripada
“anak hasil skandal ibunya” tersebut. Karena asal-usul Bratasenawa yang kurang
baik itulah yang
membuat Purbasora menginginkan
merebut tahta Galuh.
Pada tahun 716, dengan dukungan dari mertua Purbasora (Resi
Padmahariwangsa / raja Indraprahasta), mertua Demunawan (Wiraganti / raja Kuningan), dan Bimaraksa atau lebih dikenal
dengan sebutan Ki Balagantrang (putra
dari Resiguru Jantaka / putera kedua Wretikandayun yang telah menjadi raja
Kerajaan Denuh), Purbasora menyiapkan pasukan untuk melakukan kudeta di Galuh.
Namun, sebelumnya rencana Purbasora itu telah diketahui oleh Bratasenawa. Untuk
mengatasi masalah ini, Bratasenawa segera meminta bantuan pada Kerajaan Sunda.
Dikarenakan jarak Galuh – Pakuan itu sangat jauh, maka kedatangan pasukan
bantuan dari Kerajaan Sunda tidak berpengaruh pada perubahan situasi politik di
Galuh. Prajurit Sunda datang setelah Purbasora berhasil merebut tahta dari
Bratasenawa dengan secepat kilat.
Sebelum Purbasora berhasil merebut tahta Galuh, Bratasenawa
sudah memperhitungkan itu dan melarikan diri ke Bumi Mataram yang saat itu
masih dipegang oleh ibu tirinya / ibu mertuanya (Dewi Parwati). Di Bumi Mataram
ini, Bratasenawa pun tercatat sebagai putera mahkota kerajaan.
Purbasora yang begitu benci pada Bratasenawa, akhirnya hanya
menyingkirkan para pengikut-pengikut dari Bratasenawa saja. Beberapa kalangan
Galuh yang lain, banyak yang mendukung Purbasora. Bahkan di saat Purbasora
melakukan penyerbuan, prajurit-prajurit Galuh seakan “sengaja mengalah” dalam
menghadapi pasukan Purbasora.
Pasukan Sunda yang datang setelah Galuh berganti kekuasaan,
tidak mengetahui ketika yang menyambut di alun-alun adalah pasukan dari
Purbasora. Duta kerajaan Sunda yang berada di Galuh kemudian memberitahukan
keadaan terakhir yang terjadi di Galuh kepada panglima pasukan Sunda. Pihak
Galuh intinya tidak mau melakukan peperangan dengan pihak Sunda.
Pasukan Sunda yang datang dengan maksud membantu Bratasenawa
(selaku besan dari Tarusbawa), tentunya merasa terkejut dengan pemberitahuan
ini. Akan tetapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena keadaan sudah berlalu
dan Bratasenawa pun dikabarkan selamat tiba di Bumi Mataram.
4. Purbasora (716 – 726 M)
Purbasora akhirnya menjadi Raja Galuh ke-4, sedangkan
Bimaraksa (selaku pimpinan penyerangan saat kudeta) diangkat menjadi senapati
membawahi pasukan-pasukan tangguh yang diambil dari kerajaan Indraprahasta.
Purbasora memiliki permaisuri yang bernama Citra Kirana
(puteri sulung raja Indraprahasta). Dari perkawinannya tersebut, pasangan
Purbasora dan Citra Kirana memiliki putera sulung yang bernama Wijayakusuma dan
diangkat menjadi putera mahkota Galuh. Sedangkan puteri lainnya dari Purbasora,
dinikahkan dengan Bimaraksa (putera
sulung Jantaka / raja Kerajaan Denuh).
Pada masa kepemimpinannya, langkah pertama yang diambil
adalah mengadakan hubungan diplomatik dengan Kerajaan Sunda. Tarusbawa sebagai
raja Sunda tetap menerima permintaan hubungan baik itu, meskipun kini Galuh
telah diperintah oleh seorang yang telah mengusir besannya.
Dalam menjalani kekuasaannya, Purbasora berada dalam hati
penuh ketegangan dan kewaspadaan. Beliau takut apabila Bratasenawa melancarkan
serangan balasan yang tentunya akan didukung oleh Kerajaan Bumi Mataram. Yang
pasti akibat peristiwa kudeta Galuh, hubungan antara Galuh dan Bumi Mataram
menjadi renggang dan bermusuhan. Padahal di masa pemerintahan Wretikandayun,
Galuh dengan Kalingga (cikal bakal Kerajaan Bumi Mataram dan Kerajaan Bumi
Sembara) sangat bersahabat.
Meskipun dalam taraf kesiagaan penuh, namun Galuh tidak
menyangka bahwa pasukan dari Bumi Mataram dan Bumi Sembara dibawah pimpinan
Sanjaya (anak Bratasenawa) telah memasuki wilayah barat Jawa dan menghimpun
kekuatan di kaki Gunung Sawal.
Pada tahun 723, raja
Sunda (Tarusbawa) wafat. Sanjaya yang juga merupakan cucu (dari istrinya)
Tarusbawa, dinobatkan menjadi raja Sunda. Penobatan itu berlangsung ketika
Sanjaya sedang giat melatih pasukannya di kaki Gunung Sawal untuk menyerang
Galuh. Dengan posisinya sebagai raja Sunda, maka Sanjaya juga melibatkan
pasukan Sunda untuk melakukan penyerangan (padahal, di masa Tarusbawa berkuasa,
Kerajaan Sunda terikat hubungan diplomatik dengan Galuh). Dengan demikian, Kerajaan Sunda memutuskan
hubungan diplomatiknya dengan Galuh secara sepihak (tanpa sepengetahuan Galuh).
Suatu malam di tahun 726, serangan kilat yang tidak diduga
dari pasukan Sanjaya benar-benar terwujud. Seluruh keluarga Purbasora gugur,
bahkan Purbasora sendiri tewas ditangan Sanjaya. Bimaraksa / Ki Balagantrang
selaku senapati Galuh dibiarkan lolos oleh Sanjaya dan bersembunyi di daerah
Geger Sunten (sekarang Kampung Sodong, Desa Tambaksari, Kecamatan Rancah,
Kabupaten Ciamis). Hal ini terjadi dikarenakan Sanjaya hanya dendam pada
Purbasora dan keluarganya.
Setelah Sanjaya berhasil menguasai Galuh, akhirnya Galuh
kembali menjadi kerajaan dibawah kekuasaan Kerajaan Sunda. Sanjaya sendiri
tidak berniat untuk mengambil alih tahta Galuh (penyerangannya itu hanya
dikarenakan untuk membalaskan dendam ayahnya). Dengan alasan itulah, Sanjaya
meminta Demunawan (adik Purbasora) sebagai penerus tahta Galuh.
Tetapi permintaan itu ditolak oleh Danghiyang Guru Sempakwaja
(ayah dari Purbasora dan Demunawan yang saat itu sudah berusia 103 tahun dan
menjabat sebagai penguasa Kerajaan Galunggung). Sempakwaja jelas merasa sakit
hati atas perlakuan Sanjaya terhadap Purbasora, dan beliau tidak mau Demunawan
(anak ke-2 nya) menjadi raja bawahan dari seseorang yang telah membunuh anak
sulungnya. Lagi pula saat itu Demunawan telah menjadi raja di Kerajaan
Kuningan.
Tetapi sebagai pemuka agama yang bijak, Sempakwaja tidak
secara terang-terangan menyampaikan isi hatinya itu. Melalui sebuah sindiran
dia mengutarakan maksud hatinya kepada Sanjaya, sindiran itu mengatakan bahwa
kekuasaan Sanjaya dan keluarganya di Kalingga masih terlalu kecil untuk menjadi
“atasan” dari Resiguru Demunawan. Untuk membuktikan hal itu, Sempakwaja mempersilakan
kepada Sanjaya untuk mengalahkan dulu “tritunggal” andalannya. “Tritunggal” itu
terdiri dari Wiragati (raja Kuningan), Wulan (raja Kajaron), dan Tumanggal
(raja Kalanggara). Mereka bertiga adalah raja-raja tangguh dari kerajaan
bawahan Galunggung. Apabila Sanjaya berhasil mengalahkan mereka bertiga, maka
Sanjaya boleh menjadikan Demunawan sebagai raja bawahannya. Tetapi apabila
gagal mengalahkan mereka, maka kekuasaan Galuh ditunjuk sesuai kehendak dari
Sempakwaja.
Merasa terbakar atas sindiran itu, akhirnya Sanjaya
menyanggupi permintaan tersebut. Dengan emosi yang tersulut, Sanjaya langsung
menyerang Kuningan. Tetapi Sanjaya akhirnya harus mengakui kehebatan dari “tritunggal” dalam pertempuran di dekat Cikuningan.
Sanjaya bersama pasukannya dikejar-kejar dan terpaksa mundur kembali ke Galuh.
Dengan kekalahan ini, Sanjaya harus menuruti perintah dari
Sempakwaja. Akhirnya Sempakwaja menunjuk Premana Dikusuma (cucu Purbasora dari
anaknya yang bernama Wijayakusuma) sebagai penerus tahta Galuh.
Dengan ditunjuknya Premana Dikusuma sebagai raja Galuh,
bukan berarti Sanjaya tidak memiliki wewenang sepenuhnya atas Galuh. Sanjaya
tetap mempunyai wewenang untuk menunjuk Tamperan Barmawijaya (puteranya)
sebagai patih. Kehadiran Tamperan Barmawijaya sebagai patih sekaligus wakil
Kerajaan Sunda, dilengkapi oleh beberapa pasukan yang didatangkan langsung dari
Kerajaan Sunda untuk melindunginya.
5. Prabu Adi Mulya Sanghiyang Cipta Premana
Dikusuma (726 – 732 M)
Beliau dilahirkan pada tahun 683 tahun, dan sejak tahun 703
beliau telah menjadi raja daerah di bawah kepemimpinan Amara, di masa itu
beliau dijuluki dengan Ajar Sukaresi.
Premana Dikusuma pertama kali menikah dengan Naganingrum
(cucu dari Bimaraksa / Ki Balagantrang), dan mereka memiliki putera bernama
Surotama atau dikenal dengan nama Manarah yang lahir pada tahun 718.
Pada saat beliau dinobatkan sebgai Raja Galuh, ketika
berusia 43 tahun, Premana Dikusuma telah dikenal sebagai rajaresi karena
ketekunannya mendalami agama dan bertapa sejak muda. Ia dijuluki Bagawat
Sajala-jala.
Untuk mengikat kesetiaan Premana Dikusumah terhadap
pemerintahan pusat di Pakuan, Sanjaya menjodohkan raja daerah Galuh ini
dengan Dewi Pangreyep (puteri dari Anggada, Patih Kerajaan
Sunda). Selain itu Sanjaya menunjuk puteranya (Tamperan Barmawijaya) sebagai
Patih Galuh sekaligus memimpin "garnizun" Sunda di Galuh.
Kedudukan Premana Dikusuma serba sulit, ia bertindak sebagai
raja daerah Galuh menjadi bawahan Raja Sunda yang berarti harus tunduk kepada
Sanjaya yang telah membunuh Kakeknya. Sebenarnya Premana Dikusumah menerima
kedudukan Raja Galuh karena terpaksa keadaan, karena beliau tidak berani
menolak perintah Sempakwaja yang bijak serta dituakan di lingkungan Galuh.
Penunjukkan Premana Dikusuma sebagai raja daerah Galuh oleh Sempakwaja cukup
beralasan karena ia masih merupakan cucu dari
Purbasora.
Keterpaksaannya lebih sulit lagi ketika beliau menyadari
bahwa sebenarnya patih Tamperan Barmawijaya lah yang sebenarnya berkuasa dalam
menjalankan pemerintahannya sehari-hari. Premana Dikusumah hanya dijadikan
simbol dari kekuasaan Galuh.
Karena kemelut seperti itu, maka ia lebih memilih
meninggalkan istana untuk bertapa di dekat perbatasan Sunda sebelah timur
Citarum dan sekaligus juga meninggalkan istrinya (Dewi Pangreyep). Urusan pemerintahan
diserahkan pada Tamperan Barmawijaya.
Dewi Pangreyep yang berasal dari Kerajaan Sunda merasa
kesepian berada di Keraton Galuh sejak suaminya menjadi pertapa. Keberadaan
Dewi Pangreyep juga banyak yang tidak menyukai, terutama dari pembesar-pembesar
Galuh yang anti Sunda.
Keadaan asing itulah yang membuat sang ratu akhirnya dekat
dengan sang patih (Tamperan Barmawijaya), yang sama-sama berasal dari Kerajaan
Sunda dan sama-sama merupakan cicit dari Tarusbawa. Tamperan Barmawijaya
senantiasa melindungi keselamatan sang ratu selama berada di Galuh.
Karena kedekatannya yang terlalu jauh, maka lahirlah
Kamarasa atau Banga dari hasil hubungan gelap Dewi Pangreyep dan Tamperan
Barmawijaya. Untuk menghapus jejak skandal ini, Tamperan Barmawijaya mengupah
seseorang untuk membunuh Premana Dikusuma yang sedang bertapa di hutan Gunung
Padang (sebelah timur Citarum / termasuk wilayah Galuh barat).
Berita pembunuhan sang raja itu segera menyebar ke ibu kota
Galuh, dan dibumbui oleh berita bahwa Tamperan Barmawijaya telah menangkap dan
menewaskan pembunuhnya. Kejadian itu membuat Tamperan Barmawijaya mendapatkan
pujian dari kerabat keraton Galuh, kemudian Dewi Pangreyep serta Naganingrum
(janda Premana Dikusuma) akhirnya dijadikan permaisuri oleh Tamperan Barmawijaya.
Pada tahun 732, Sanjaya mengadakan konfrensi antar Raja
seluruh pulau Jawa, yang salah satu dari hasil konfrensi tersebut
mengisyaratkan bahwa Tamperan Barmawijaya menjadi penguasa Sunda sekaligus
Galuh. Hasil dari konfrensi itu harus dijunjung tinggi oleh siapapun, sehingga
pembesar Galuh pun tidak bisa berbuat banyak dalam mensikapi hasil konfrensi
yang kelihatan tidak adil tersebut.
6. Tamperan
Barmawijaya (732 – 739 M)
Selama periode ini, Kerajaan Galuh disatukan dengan Kerajaan
Sunda dibawah kekuasaan Tamperan Barmawijaya, namun raja ini tetap memilih
Galuh sebagai pusat dari kekuasaannya.
Di saat kekuasaannya ini pula, rahasia skandal yang dulu
pernah dilakukan mengenai hubungan gelap dengan Dewi Pangreyep serta pembunuhan
atas Premana Dikusuma terbongkar oleh Bimaraksa yang saat itu sembunyi dan
menyamar sebagai penjala ikan di Geger Sunten. Sebelumnya Bimaraksa telah
diam-diam menghimpun kekuatan anti keturunan Sanjaya dengan didukung oleh
sekitar 799 orang. Untuk membongkar rahasia skandal Tamperan Barmawijaya,
Bimaraksa secara sembunyi-sembunyi menghubungi Manarah (anak Premana Dikusuma
dari Naganingrum). Salah seorang pengikut Bimaraksa yang bernama Ki Anjali
ditugaskan untuk menyamar sebagai pandai besi di ibu kota Galuh.
Manarah yang sebelumnya telah menganggap ayah pada Tamperan
Barmawijaya, menjadi balik membencinya dan bertekad untuk membalas kematian
ayah kandungnya itu.
Pada tahun 739, Manarah secara diam-diam menyiapkan rencana
untuk membalas dendam kematian ayahnya serta untuk mengembalikan tahta Galuh
dari Kerajaan Sunda yang dulu telah direbut oleh Sanjaya. Dengan bimbingan
Bimaraksa, Manarah melakukan penyerangan mendadak. Sesuai dengan rencana
Bimaraksa, penyerbuan ke Galuh dilakukan siang hari bertepatan dengan pesta
sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir, termasuk Banga (sang putra
mahkota). Manarah bersama anggota pasukannya hadir dalam gelanggang
berpura-pura sebagai penyabung ayam. Bimaraksa memimpin pasukan Geger Sunten
menyerang keraton. Kudeta itu berhasil dalam waktu singkat. Tamperan
Barmawijaya dan permaisurinya Dewi Pangreyep serta Banga dapat ditawan di
gelanggang sabung ayam.
Tetapi Banga kemudian dibiarkan bebas. Pada malam harinya
Banga berhasil membebaskan ayah dan ibunya dari tahanan. Akan tetapi hal itu
diketahui oleh pasukan pengawal yang segera memberitahukannya kepada Manarah.
Terjadilah pertarungan antara Banga dan Manarah yang berakhir dengan kekalahan
Banga. Sementara itu pasukan yang mengejar raja Tamperan Barmawijaya dan sang
permaisuri Dewi Pangreyep, melepaskan panah-panahnya di dalam kegelapan
sehingga menewaskan Tamperan Barmawijaya dan Dewi Pangreyep.
Berita
kematian Tamperan Barmawijaya didengar
oleh Sanjaya yang ketika itu telah memerintah di Bumi Mataram, dan
kemudian dengan pasukan besarnya, Sanjaya menyerang Galuh. Namun Manarah telah
menduga serangan itu, sehingga ia telah menyiapkan pasukan yang juga didukung
oleh raja di daerah Kuningan yang dulu pernah ditaklukan Sanjaya.
Perang saudara (gotrayuddha) antara sesama keturunan
Wretikandayun terjadi selama beberapa hari tanpa ada yang menang maupun yang
kalah. Banyak korban yang gugur dalam peperangan besar itu. Dalam keadaan yang
mengenaskan, Demunawan turun dari Saung Galah untuk meredakan peperangan.
Dengan wibawanya yang besar serta dihormati sebagai seorang sesepuh, Demunawan
berhasil menghentikan pertempuran dengan
jalan mengajak kedua belah pihak yang bertikai untuk berunding di keraton Galuh
pada tahun 739. Salah satu isi dari perundingan itu dicapai kesepakatan bahwa :
1. Negeri Sunda
dengan wilayah dari Citarum ke barat dirajai oleh Kamarasa atau Banga.
2. Negeri Galuh
dengan wilayah dari Citarum ke timur dirajai oleh Surotama atau Manarah.
3. Demunawan menguasai negeri Saung Galah (Kuningan) dan
bekas kawasan Kerajaan Galunggung.
4. Sanjaya memerintah
di Bumi Mataram.
7. Manarah / Surotama (739 – 783 M)
Manarah sebagai anak dari Premana Dikusuma (dikenal juga
sebagai Ciung Wanara dalam cerita tradisional Sunda), menjadi penguasa Galuh
setelah dia berhasil menyerang Kerajaan Sunda, keadaan itu membuat Galuh
kembali menjadi kerajaan yang merdeka.
Beliau dinobatkan sebagai raja Galuh dengan gelar Prabu Jayaprakosa
Mandaleswara Salakabuana.
Manarah memperistri Kancanawangi (cicit Resiguru Demunawan).
Kancanawangi merupakan kakak dari istri
Rakeyan Banga. Dari permaisuri ini, Manarah memperoleh puteri yang bernama
Puspasari.
Pada tahun 783, Manarah melakukan "Manurajasuniya"
(mengundurkan diri dari tahta kerajaan untuk melakukan tapa sampai akhir hayat)
dan baru wafat pada tahun 798 dalam usia 80 tahun.
8. Manisri
(783 – 799 M)
Beliau merupakan menantu dari Manarah, melalui pernikahannya
dengan Puspasari. Ketika dinobatkan sebagai raja Galuh, beliau diberi gelar
Prabu Darmasakti Wirajayeswara. Beliau memiliki dua orang putera, antara lain :
1. Tariwulan,
kemudian menjadi penerus tahta Galuh.
2. Rakeyan
Hujungkulon, kemudian menikah dengan Dewi Samatha (puteri Rakeyan Medang /
raja Sunda ke-5). Dari ikatan
pernikahannya ini, beliau akhirnya menjadi raja Sunda ke-6.
9. Tariwulan (799 – 806 M)
Tariwulan adalah anak dari Manisri, beliau bergelar Prabu
Kretayasa Dewakusaleswara. Tariwulan memiliki permaisuri yang bernama Dewi
Saraswati (dari Kerajaan Saung Galah / Kuningan, keturunan Demunawan).
10. Welengan
(806 – 813 M)
Beliau merupakan anak dari Tariwulan, beliau bergelar Prabu
Brajanagara Jayabuana. Beliau memiliki dua orang anak, antara lain :
1. Prabu Linggabumi,
kemudian menjadi penerus Kerajaan Galuh.
2. Dewi Kirana,
kemudian menikah dengan Rakeyan Wuwus (raja Sunda ke-8).
11. Prabu Linggabumi (813 – 852 M)
Prabu Linggabumi merupakan putera dari Welengan sekaligus
keturunan Manarah yang terakhir (cicit dari Manarah). Ketika beliau wafat, dia
tidak memiliki keturunan untuk meneruskan tahta Galuh. Sehingga tahta Galuh
jatuh kepada suami adiknya yang bernama Rakeyan Wuwus (Raja Sunda ke-8).
Dengan peristiwa itu, maka Kerajaan Galuh posisinya berada
dibawah kekuasaan Kerajaan Sunda yang dipimpin oleh Rakeyan Wuwus. Kemudian
ketika Rakeyan Wuwus telah memiliki putera yang cukup umur, maka Galuh kembali
memiliki raja yang sifatnya hanya sebagai raja daerah.
12. Batara
Danghiyang Guruwisuda (852 – 916
M)
Beliau merupakan putera sulung dari Rakeyan Wuwus, dan hanya
sebagai raja daerah saja. Batara Danghiyang Guruwisuda memiliki seorang puteri
yang bernama Dewi Sundara. Puteri ini kemudian menikah dengan Rakeyan Kamuning
Gading (raja Sunda), dan akhirnya lahir 2 orang putera, antara lain :
1. Rakeyan Jayadrata,
yang kelak akan menjadi raja Galuh serta membebaskan diri dari Kerajaan Sunda.
2. Rakeyan Limbur
Kancana, kelak akan menjadi raja Sunda.
13. Rakeyan
Jayadrata (916 – 949 M)
Pada masa kekuasaanya, di Kerajaan Sunda tengah terjadi
kudeta yang dilakukan oleh Rakeyan Jayagiri. Kerajaan Galuh yang merupakan
kerajaan bawahan dari Sunda, terlebih lagi Rakeyan Jayadrata adalah putera
sulung dari Rakeyan Kamuning Gading (raja Sunda yang tergusur posisinya), maka
mulai saat itu Galuh tidak mau mengakui kekuasaan dari Rakeyan Jayagiri.
Karena dianggap membangkang, maka Kerajaan Sunda mengerahkan
pasukannya untuk menyerang Galuh sebanyak 2 kali serangan. Namun, Rakeyan
Jayadrata yang langsung memimpin prajurit Galuh, berhasil menghancurkan
serangan itu.
Setelah kejadian penyerangan yang dimenangkan oleh Galuh,
maka Kerajaan Galuh memerdekakan diri dari kekuasaan Kerajaan Sunda. Dengan
demikian, Kerajaan Galuh tampil kembali menjadi kerajaan yang merdeka dengan
batas wilayahnya adalah sebelah timur Citarum barat Jawa. Kebencian Rakeyan
Jayadrata terhadap Rakeyan Jayagiri,
terus berlanjut hingga raja Galuh tersebut mengutus adiknya yang bernama
Rakeyan Limbur Kancana untuk membunuh Rakeyan Jayagiri.
14. Rakeyan
Harimurti (949 – 988 M)
Beliau merupakan putera dari Rakeyan Jayadrata, dan menjadi
penerus tahta Galuh yang sudah merdeka. Setelah kekuasaan Sunda berada pada
Rakeyan Limbur Kancana, Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda menjadi damai
kembali.
15. Prabu Linggasakti Jayawiguna (988 – 1012 M)
Ketika beliau wafat, tahta Kerajaan Galuh dikuasai oleh
kakak iparnya (Prabu Dewa Sanghiyang / raja Sunda). Sedangkan anaknya dari
permaisuri Dewi Rukmawati yang bernama Prabu Resiguru Darmasatyadewa, hanya
dinobatkan sebagai raja daerah Galuh sebagai wakil dari kekuasaan Keajaan Sunda
di Pakuan.
Dengan demikian, Kerajaan Galuh kembali menjadi kerajaan
bawahan Sunda.
16. Prabu Resiguru
Darmasatyadewa (1012 – 1027 M)
Beliau hanya berkuasa sebagai raja daerah atau wakil dari
pemerintahan Kerajaan Sunda di Pakuan.
17. Dewi
Sumbadra (1027 – 1065 M)
Beliau merupakan adik dari istrinya Prabu Sanghiyang Ageung
(raja Sunda ke-19). Jika dilihat dari permaisuri Prabu Sanghiyang Ageung yang
berasal dari Kerajaan Sriwijaya, maka kemungkinan besar Dewi Sumbadra pun
sama-sama berasal dari kerajaan terbesar di pulau Sumatera itu. Seperti juga
raja Galuh sebelumnya, Dewi Sumbadra pun hanya berkuasa sebagai raja daerah
atau wakil dari pemerintahan Kerajaan Sunda di Pakuan. Setelah memerintah
selama kurang lebih 38 tahun, Dewi Sumbadra digantikan posisinya oleh puteranya
yang bernama Prabu Arya Tunggalningrat.
18. Prabu
Arya Tunggalningrat (1065 – 1091 M)
Masa kekuasaan beliau seangkatan dengan masa kekuasaan Prabu
Langlangbumi (raja Sunda ke-22).
Periode tahun 1091 hingga 1152 tidak diketahui nama Raja
Daerah yang menjabat di Galuh.
Pada tahun 1152, kekuasaan Galuh bersatu dengan Kerajaan
Galunggung dalam rangka mengimbangi kekuatan Kerajaan Sunda. Pada saat itu
Galuh kembali menjadi Kerajaan yang merrdeka, dan diangkat sebagai rajanya
adalah seorang ratu penguasa Kerajaan Galunggung yang bernama Dewi Citrawati /
Batari Hiyang Janapati.
19. Dewi
Citrawati (1152 – 1157 M)
Akibat hasil dari perundingan damai antara Kerajaan Sunda
dan Kerajaan Galunggung, maka beliau berkuasa di 2 kerajaan yang bersatu yaitu
Kerajaan Galuh dan Kerajaan Galunggung. Pada masa kekuasaannya, ibukota Galuh
dipindahkan ke pusat Kerajaan Galunggung.
Dewi Citrawati mempunyai putera yang bernama Batara
Danghiyang Guru Darmawiyasa, puteranya ini kemudian ditugaskan untuk menjabat
sebagai raja daerah di Galunggung. Dari
Batara Danghiyang Guru Darmawiyasa ini, Dewi Citrawati mempunyai cucu
yang bernama Prabu Darmakusuma, cucunya inilah kemudian menjadi penerus
kerajaan Sunda setelah menikah dengan Ratna Wisesa (puteri Prabu Menakluhur /
raja Sunda ke-23).
Setelah Prabu Darmakusuma dinobatkan sebagai raja Sunda pada
tahun 1157, maka kekuasaan Galuh dan Galunggung kembali berada di bawah
kekuasaan Sunda. Pada tahun 1475, Kerajaan Sunda kembali dipecah menjadi 2
bagian, karena itu Kerajaan Galuh kembali muncul sebagai kerajaan yang berdiri
sendiri.
20. Ningrat
Kancana (1475 – 1482 M)
Sebelum menjadi raja Galuh, pada usia 23 tahun Ningrat
Kancana ditunjuk oleh Prabu Anggalarang (ayahnya) sebagai raja daerah di
wilayah Galuh. Saat itu, untuk menjalankan pemerintahannya sehari-hari, beliau
langsung berada dibawah bimbingan ayahnya.
Pada saat dinobatkan sebagai raja Galuh, beliau diberi gelar
Prabu Rahiyang Dewa Niskala. Saat itu, antara Kerajaan Galuh dengan Kerajaan
Sunda (yang dipimpin oleh Prabu Susuktunggal)
berada dalam kedudukan sederajat / setingkat.
Beliau memiliki 3 orang istri, tapi tidak diketahui namanya.
Dari beberapa pernikahannya itu, lahirlah beberapa orang anak, antara lain :
1. Pamanahrasa /
Jayadewata (anak dari istri pertama) lahir tahun 1401, kelak beliau akan
menjadi raja Pajajaran yang paling terkenal dengan sebutan Prabu Siliwangi.
2. Ningratwangi (anak
dari istri pertama)
3. Banyakcatra /
Kamandaka (anak dari istri kedua), kelak menjadi raja daerah (bawahan Galuh) di
daerah Pasir Luhur.
4. Banyakngampar
(anak dari istri kedua), kelak menjadi raja daerah (bawahan Galuh) di daerah
Dayeuh Luhur.
5. Ratna Ayu Kirana
(anak dari istri kedua)
6. Kusumalaya / Ajar
Kutamangu (anak dari istri kedua)
7. Surayana (anak
dari istri ketiga)
Terjadinya kejatuhan Prabu Kertabumi / Brawijaya V (Raja
Majapahit) akibat serangan Demak sekitar tahun 1478, telah mempengaruhi jalan
sejarah di barat Jawa. Rombongan pengungsi dari kerabat keraton Majapahit
akhirnya ada juga yang sampai di wilayah Kerajaan Galuh.
Salah seorang diantaranya ialah Raden Baribin (saudara seayah Prabu Kertabumi).
Ia diterima dengan baik oleh Prabu Dewa Niskala bahkan kemudian dijodohkan
dengan putrinya yang bernama Ratna Ayu
Kirana. Disamping itu Dewa Niskala sendiri menikahi salah seorang dari wanita
pengungsi yang kebetulan telah bertunangan.
Sejak peristiwa Bubat, kerabat Kerajaan Galuh maupun
Kerajaan Sunda ditabukan untuk berjodoh dengan kerabat keraton Majapahit.
Selain itu, menurut "perundang-undangan" waktu itu, seorang wanita
yang bertunangan tidak boleh menikah dengan laki-laki lain kecuali bila
tunangannya meninggal dunia atau membatalkan pertunangan. Dengan demikian, Dewa
Niskala telah melanggar dua peraturan sekaligus dan dianggap berdosa besar
sebagai raja.
Kekalutan pun tak terelakkan. Prabu Susuktunggal (Raja Sunda
yang juga besan Dewa Niskala setelah puteri Prabu Susuktunggal yang bernama
Kentring Manik Mayang Sunda dijodohkan dengan Prabu Jayadewata), mengancam
untuk memutuskan hubungan dengan Kerajaan Galuh. Begitu juga dengan anggapan
dari Dewa Niskala yang menganggap kakaknya terlalu ikut campur urusan intern
Kerajaan Galuh.
Namun, kericuhan dapat dicegah dengan keputusan di tahun
1482, bahwa kedua raja yang berselisih itu bersama-sama mengundurkan diri. Akhirnya
Prabu Dewa Niskala
menyerahkan tahta Kerajaan Galuh
kepada puteranya yang bernama Jayadewata. Demikian pula dengan Prabu
Susuktungal yang menyerahkan tahta Kerajaan Sunda kepada menantunya ini
(Jayadewata). Dengan peristiwa yang terjadi itu, kerajaan di tatar Sunda berada
dalam satu tangan. Di bawah panji Kerajaan Pajajaran.
Setelah peristiwa penyatuan kekuasaan menjadi satu Kerajaan
besar Pajajaran, wilayah priangan timur (bekas kekuasaan Galuh) terbagi menjadi
kerajaan-kerajaan kecil. Kemungkinan besar hal ini terjadi akibat
terkonsentrasinya kerajaan Pajajaran untuk pengembangan wilayah di barat
(Pakuan).
21. Prabu
Ningratwangi
Beliau menjadi raja daerah di bawah kekuasaan besar
Pajajaran (yang dipimpin oleh kakaknya / Jayadewata). Prabu Ningratwangi
ditugaskan untuk mengurusi wilayah Galuh. Pada saat menjalankan
pemerintahannya, beliau dibantu oleh beberapa orang untuk memonitor wilayah
barat Jawa bagian timur. Salah satu diantaranya adalah Adipati Arya Kiban yang
mengurusi pemerintahan di Palimanan (mencakup wilayah Cirebon).Prabu
Ningratwangi memiliki putera yang bernama Prabu Jayaningrat yang kemudian
meneruskan tahta Galuh.
22. Prabu
Jayaningrat
Saat beliau berkuasa, pamor Pajajaran (kerajaan induk dari
Galuh) tengah mengalami penurunan. Pajajaran yang dipimpin oleh Prabu
Surawisesa terdesak oleh munculnya Kesultanan Cirebon. Keadaan itu dijadikan
kesempatan bagi Prabu Jayaningrat, untuk menunjukan kesetiaan Galuh pada Pajajaran.
Untuk mengembalikan kewibawaan Pajajaran, Prabu Jayaningrat
mengirim surat kepada Syarif Hidayatullah (Sultan Cirebon pertama). Surat
tersebut berisi agar Cirebon mengirimkan upeti kepada atasannya (Pajajaran),
apabila perintah ini tidak dituruti, maka pasukan Galuh akan menggempur
Cirebon.
Dikarenakan Cirebon tetap bersikukuh tidak mau memberi
upeti, maka ancaman Galuh menjadi kenyataan. Pasukan besar disiapkan langsung
dibawah komando Prabu Jayaningrat dibantu oleh sang Patih bernama Adipati Arya
Kiban untuk menyerang Cirebon pada tahun 1528.
Di perbatasan Galuh – Cirebon tepatnya di dekat bukit
Gundul, Palimanan, serangan pasukan Galuh berhadapan sengit dengan pasukan
Cirebon yang diwakili oleh Laskar Kuningan (Kerajaan sekutu bawahan Cirebon)
pimpinan Dipati Ewangga. Pasukan Galuh berhasil memukul mundur pasukan Dipati
Ewangga.
Adipati Arya Kiban yang saat itu menunggang seekor gajah
bernama Si Liman Bango, tidak melanjutkan pengejaran kepada Pasukan Kuningan
hingga ke jantung kota Cirebon karena mendengar kabar bahwa di Cirebon telah
siap 700 pasukan Demak lengkap dengan senjata api dan meriam. Tetapi kabar
tersebut ternyata tidak lengkap, karena sebenarnya pasukan besar Demak (sekutu
Cirebon) tersebut telah diberangkatkan untuk menyerang Pajajaran di daerah
Banten Girang.
Tetapi selang beberapa waktu, kekhawatiran akan armada besar
Demak menjadi kenyataan. Sekitar 700 pasukan bantuan dari Demak didatangkan untuk menghadang pasukan Galuh.
Pasukan Demak dipimpin oleh Fatahillah bergabung dengan pasukan Cirebon yang
dipimpin oleh tokoh kharismatik Raden Walangsungsang serta Dipati Ewangga dari
Kuningan.
Pertempuran kedua berlangsung lebih sengit, tetapi kali ini
kemenangan berada di pihak Cirebon dan Demak. Bantuan pasukan meriam Demak
membuat Galuh kewalahan. Laskar Galuh tidak berdaya menghadapi “panah besi
besar yang bersuara seperti guntur serta memuntahkan logam panas”. Tombak dan
anak panah merekapun lumpuh karena meriam, maka jatuhlah Kerajaan Galuh,
sedangkan Prabu Jayaningrat berhasil meloloskan diri ke kerajaan Talaga
(sama-sama kerajaan bawahan Pajajaran). Dikisahkan wilayah dan Istana Galuh
dibumi hanguskan oleh rakyatnya yang setia karena mereka tidak sudi menjadi
bawahan dari Cirebon. Riwayat Prabu Jayaningrat sendiri dikabarkan tewas
setelah Cirebon menyerang Talaga.
Menurut sumber lain mengatakan, kekalahan Galuh ini
diakibatkan oleh hilangnya benda pusaka Kerajaan Galuh yaitu Sarpa Kandaga yang
telah dicuri sebelumnya oleh Nyai Endang Darma (istri Aria Wiralodra, seorang
Adipati Cimanuk / Darma Ayu) atas perintah Syarif Hidayatullah (Sultan
Cirebon), sehingga membuat Prajurit Galuh kehilangan kepercayaan diri dan merosotnya
mental bertempur.
Sumber : Sumber
tulisan ini sebagian besar bersumber dari westjavakingdom.blogspot.com dan juga
buku Sejarah Jawa Barat karya Drs. Yoseph Iskandar