Oleh: Suryana Nurfatwa (Ketua Umum Gerakan Pagar Aqidah)
Sunda wiwitan adalah agama. Maka dalam
pandangan Islam dia adalah kafir karena posisi agamanya itu diluar Islam.
Disebut pula agama Cigugur karena lahir dan berpusat di Cigugur Kuningan. Ada
hal yang perlu diungkap, apakah munculnya agama Sunda wiwitan ada kaitannya
dengan seorang tokoh yang namanya Madrais atau tidak? Karena Sunda wiwitan erat
kaitannya dengan Madrais, bahkan ada juga yang menyebut agama Madrais atau
agama Jawa Sunda sebagaimana penjajah Belanda menyebutnya kepada kelompok
Madrais ini.
Mari kita ungkap riwayat hidup Madrais yang
nama lengkapnya Madrais Sadewa Alibassa Kusumah Wijaya Ningrat hidup sekitar
tahun 1832 sampai 1939, Madrais sebenarnya nama pesantren yang dia dirikan di
Cigugur yang sekarang menjelma menjadi Paseban, nama Madrais adalah kependekan
dari Muhammad Rois. Dari berbagai informasi, Madrais masih memiliki hubungan
darah dengan Kepangeranan (keraton) Gebang. Seorang putera kandung raja Gebang
yang bangunan keratonnya dibumihanguskan kolonial Belanda.
Ayahnya pangeran Alibassa cucu dari pangeran
Sutajaya Upas menantu pangeran Kasepuhan keturunan ke-8 dari Sunan Gunung Jati.
Karena keadaan genting dikejar-kejar Belanda maka oleh ibunya, anak yang belum
genap satu tahun itu kemudian diselamatkan dan disembunyikan di Cigugur supaya
luput dari kejaran Belanda.
Madrais menjelma menjadi pribadi yang memiliki
kepekaan rasa, kehalusan budi, kepedulian sosial, memiliki cinta yang tinggi
terhadap budaya dan menjunjung tinggi kedaulatan bangsa. Madrais dewasa sangat
prihatin dengan nasib bangsanya yang berada dalam cengkeraman kaum penjajah. Ia
kemudian membuat semacam komunitas atau jamaah untuk selanjutnya ia didik dengan
cara pandang yang memiliki kepedulian dan anti penjajahan.
Komunitas itu ia wadahi dalam satu lembaga
bernama perguruan (paguron), ada juga yang menyebutnya dengan pesantren. Selama
hidupnya, pangeran keturunan Kepangeranan Gebang Kinatar (sekarang lokasinya di
Losari, Cirebon, Jawa Barat) itu pernah dibuang penjajah Belanda ke Tanah
Merah, Maluku (1901-1908). Belanda menuduh Madrais telah menyebarkan ajaran
sesat padahal Belanda khawatir dengan pengaruh Madrais yang semakin meluas
dalam membangun perlawanan kepada Belanda melalui ajaran Islam yang
disebarkannya. Namun tokoh ini berhasil pulang ke kampung halaman, di Cigugur,
dan kembali mengajarkan Islam kepada rakyat dan mengajarkan pentingnya hidup
sebagai orang yang mandiri dan mencintai sesama.
Salah satu ajaran Madrais yang popular di
kalangan penganut Sunda komunitasnya adalah makan dan minumlah dari hasil
keringat sendiri. Satu pesan yang menganjurkan untuk tidak mudah menerima
uluran belas kasihan orang lain kecuali dari kerja keras. Orang yang tidak
senang dengan Madrais, ajaran ini dipelintir sehingga berkesan tokoh ini
mengharuskan para pengikutnya untuk menghisap keringat sang guru.
Madrais didalam membentuk komunitas yang
diwadahi dengan pesantren, maksudnya membina masyarakat untuk mandiri dan
memiliki keberanian untuk menentang penjajah dan mengajarkan Islam sebagai
pokok ajarannya. Hanya strategi dia supaya kaum penjajah tidak curiga maka
ajaran Islam [Qur’an dan hadits] disampaikan dalam tulisan Jawa Sunda yaitu
tulisan ha, na, ca, ra, Ka dst. Sehingga komunitas Madrais disebut agama Jawa
Sunda yang sekarang disebut Sunda Wiwitan. Akan tetapi, pada waktu itu ajaran
Madrais adalah Tauhid hanya Allah yang wajib di sembah.
Sepeninggal Madrais tahun 1939 kominitas ini
dilanjutkan dipimpin oleh putranya bernama pangeran Tedja Buana Alibassa sampai
tahun 1958. Komunitas Madrais ini berubah dan dipandang sebagai aliran
kepercayaan baik oleh masyarakat maupun oleh pemerintah, karena pangeran Tedja
Buana mengajarkan Islam dengan menggunakan aksara dan bahasa Jawa-Sunda, yang
dikenal sebagai agama Jawa Sunda. Hal ini merupakan kelanjutan metode Kiayi
Madrais, kemudian dilanjutkan oleh Ratu Siti Djenar Alibassa puteri Raden Tedja
Buana dari istri pertama karena pangeran Tedja pindah ke Cirebon.
Tahun 1964 oleh kelompok tertentu, komunitas
Muslim yang mendapat julukan agama Jawa Sunda ini difitnah sebagai komunitas
PKI (komunis). Dan kelompok Muslim lainnya terprovokasi dan menyerangnya.
Akhirnya, komunitas keturunan Madrais ini terpecah menjadi 3. Pertama, ada yang
tetap sebagai Muslim, tetapi kajiannya mengikuti Muslim lainnya yakni mengkaji
Qur’an tanpa menggunakan aksara dan bahasa Jawa Sunda, karena dipandang tak
usah pakai siloka lagi dalam mempelajari Islam karena sudah merdeka. Kedua, ada
juga yang masuk agama Protestan dan yang terbesar masuk agama Katolik, termasuk
pangeran Tedja Buana dan keturunannya karena merasa takut mendekati kelompok
Muslim lainnya yang terus mengejar, dan kalau tidak beragama takut oleh negara
dimasukan kelompok komunis sebagai mana isu yang berkembang. Pada saat yang
bersamaan, para misionaris Katolik berhasil memanfaatkan konflik yang terjadi.
Mulai saat itu, Cigugur berubah menjadi kampung Katolik, lambat laun berdiri
tegak gereja dan yang masuk Katolik semakin bertambah, bahkan kawin silang antara
Muslim dengan katolik sudah terbiasa, yang akhirnya anak-anaknya ada yang
Muslim ada pula yang katolik.
Tahun 1970 kekuasaan Ratu Siti Djenar direbut
paksa oleh Raden Djati Kusumah Alibassa, putra Raden Tedja Buana dari istri keduanya,
tahun 1980. Djati Kusumah keluar dari Katolik dan mendirikan aliran bernama
PACKU (Perkumpulan Aliran Cara Karuhun Urang). Tetapi, tahun 1982 dibekukan
oleh KEJATI Jabar dengan SK pembekuan no.42 dan dinyatakan sebagai aliran
sesat, setelah PACKU dibekukan Djati Kusumah mendirikan aliran AKUR [Aliran
Karuhun Urang], dan sekarang diganti menjadi Sunda Wiwitan yang menyatakan
bukan aliran tetapi agama Sunda Wiwitan.
Untuk mempertahankan pengaruhnya, maka Djati
Kusumah selalu mengkaitkan dengan Madrais dan seolah alirannya tersebut adalah
kelanjutan dari ajaran Madrais, sehingga kalau dulu Madrais dicitra burukan
oleh Belanda sebagai pendiri dan penyebar agama Jawa Sunda,dikarenakan ajaran
Islam yang disampaikan dalam tulisan dan bahasa Jawa Sunda, kalau sekarang
madrais dicitra burukan oleh cucunya sendiri yang menyebutkan bahwa Madrais
adalah pendiri dan penyebar agama Sunda Wiwitan, dan berkelanjutan diteruskan
oleh Djati Kusumah, sehingga masyarakat Muslim terutama sangat berpandangan
negatif kepada Kiayi Madrais.
Kita mendengar bahwa Sunda Wiwitan ini adalah
ageman (pegangan) kepercayaan masyarakat
Baduy Kab. Lebak Banten, apakah ada kaitannya
Sunda Wiwitan Djati Kusumah dengan Sunda Wiwitan masyarakat Baduy? Dahulu, pada
waktu Madrais hidup di Cigugur tegak pesantren dan tegak sebuah mesjid, tetapi
sekarang pesantren dan mesjid itu lenyap dan di atasnya tegak sebuah bangunan namanya
Paseban. Keberadaan Paseban Tri Panca Tunggal ini menjadi penting untuk
melestarikan ajaran-ajaran yang telah ditanamkan para pendahulu. Ritual-ritual
penting ajaran komunitas ini berlangsung di komplek Paseban. Salah satu kegiatan
tahunan yang digelar dengan cukup meriah, dan melibatkan berbagai komunitas adalah
upacara Seren Taun. Perhelatan ini dilakukan setahun sekali, dalam rangka
menyongsong datangnya Tahun Baru Saka dalam hitungan kalender Jawa-Sunda. Motivasi
pagelaran ini adalah mensyukuri nikmat dan karunia yang telah diberikan oleh
Tuhan kepada kita semua. Di event ini, sebagian masyarakat Cigugur bergotong- royong
membawa hasil bumi mereka untuk diarak dalam satu episode pawai yang meriah. Di
komplek gedung Paseban TPT, juga tinggal para penganut ajaran Sunda Wiwitan
yang terdiri dari remaja, dewasa hingga orang tua. Mereka biasa disebut sebagai
warga atau sawarga, yang berarti keluarga. Ini merupakan ekspresi dari pemahaman
ajaran yang mereka yakini: setiap manusia bersaudara. Mereka yang tinggal di
Paseban menjadi satu kesatuan dalam keluarga. Di sinipun dibangun sekolah
menengah pertama (SMP) Trimulya sejak tahun 1958, sebagai tempat belajar warga
Paseban TPT, yang juga dibuka umum.
Para penganut ajaran Sunda Wiwitan tersebar di
beberapa kota, dan kabupaten di Jawa Barat, dan tidak menutup kemungkinan juga
di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta D.I. Yogyakarta. Namun kegiatan ritual budaya
dan keagamaan komunitas ini berpusat di Cigugur. Gedung Paseban Tri Panca
Tunggal (TPT), semacam keraton yang berfungsi sebagai sentra kegiatan
keagamaan, budaya, hingga berfungsi sebagai tempat belajar dalam menjalani kehidupan.
Di gedung Paseban tinggal keluarga keturunan Madrais yang sekaligus menjadi
pimpinan warga adat. Pangeran Jatikusuma adalah ketua warga adat pimpinan agama
Sunda Wiwitan saat ini.
Agama Sunda Wiwitan Cigugur (atau boleh
disebut Sunda Wiwitan ecek ecek/Sunda Wiwitan Palsu) yang sekarang dipimpin
Pangeran Jati Kusumah sangat jauh sekali dari ajaran Karuhun Sunda yang pada
keasliannya sangat mendekati ajaran Agama Islam. Bahkan Agama Sunda Wiwitan
Asli atau yang lebih dikenal dengan Agama Hyang, seperti Keturunan Kebataraan
Galunggung, Sumedang Larang, Panjalu, dsb. Mereka berpindah kepada ajaran Agama
Islam setelah mengetahui bahwa ajaran Karuhun Sunda itu mewariskan amanat
supaya orang Sunda harus mencari ilmu yang bernama Mustikalana yang berguna untuk keselamatan
semua manusia hidup di dunia dan di akhirat kelak. Dan Ilmu yang dapat
menyelamatkan manusia di Dunia dan di Akhirat adalah tidak lain dan tidak bukan
adalah Ajaran Islam yang suci, yang menyempurnakan ajaran agama Hyang.
Maka dari itu kami selaku keturunan
Hyang-Sunda dari Sumedang mengajak para pengikut Sunda Wiwitan serta Pengikut
Katolik dan Protestan di Cigugur, Kuningan untuk kembali lagi kepada ajaran
Karuhun Sunda yang sebenarnya (Sunda Wiwitan yang Asli). Yaitu kembali lagi
kepada ajaran Islam yang diajarkan oleh leluhur kalian sendiri yakni, ajaran
Islam yang disebarkan oleh Kyai Madrais yang berpegang teguh kepada Al-Quran
dan As Sunnah. Dan mari kembalikan paseban untuk kembali menjadi pesantren dan
mesjid dan tegaknya syi’ar Islam di Cigugur, yang sekarang dikuasai agama Sunda
Wiwitan palsu dan Katolik.
“Tong
ngaku Urang Sunda lamun teu nganggem agama Islam, Sabab agama Islam mangrupa élmu titinggal
karuhun Sunda”
Sumber : voa-islam.com, dan dokumen pribadi
Propaganda yg salah...
BalasHapusSemoga membuka tabir rahasia
BalasHapusAamiiinnn
just stumble upon this site...just want to share my opinion about this matter, islam was brought to Indonesia during the 13th century. however, the beliefs of Sunda Wiwitan has already been existed far from that era. So it is not correct to state the original beliefs of Sundanese people were Islam.
BalasHapusMenarik nih Mbak Imelda. Kalau boleh share linknya dong.
BalasHapushttps://id.m.wikipedia.org/wiki/Daftar_Naskah_Nusantara
BalasHapusBerdasarkan beberapa artikel Wikipedia yang saya baca, kitab yang dipakai sunda wiwitan adalah "kotak 630" (berdasarkan kategori ANRI, nama aslinya agak susah, diperkirakan tahun 1440. Islam masuk Indonesia ada yang menyatakan pada abad ke 7, ada juga anak 11. Dan Samudera Pasai berdiri pada tahun 1200an.
BalasHapus“Tong ngaku Urang Sunda lamun teu nganggem agama Islam, Sabab agama Islam mangrupa élmu titinggal karuhun Sunda”
Hayu urang balik ka agama islam sajati
Menurut alquran dan suanah nabi
Terima kasih telah share dan menjelaskan dengan baik tentang seorang tokoh yang kokoh dan taat pada ajaran. Ini sebuah anugerah Allah yang patut dihargai dan dijaga serta setia dalam aplikasi baik secara vertikal maupun horisontal. saya bersyukur kenal dan menikah dengan salah seorang putri asli Cigugur yang mana kakek dan neneknya bagian dari komunitas Sunda wiwitan.Berharap ini anugerah dari Sang Kuasa yang kita amalkan bukan suatu ajang pertengkaran.
BalasHapusPropaganda antara sejarah dan ajakan
HapusOrang sunda makalangan ..
BalasHapusDari titisan darah kuningan cirebon @saly91..
Pangeran alibassa ..
Beda dengan cerita aki sayamah
BalasHapusSunda dari sebutan sada. wiwitan asal usul atau awal muawal. Artinya Semua dari yg satu.....
BalasHapusSupaya jelas
BalasHapus