Tahun Berdiri
: 358 M
Masa : 358-669 M
Masa : 358-669 M
Pusat Kerajaan
: Sekitar Bogor dan Bekasi
Raja Pertama :
Maharaja Jayasinghawarman
Raja Terkenal
: Maharaja Purnawarman (Raja ke-3)
Jumlah Raja :
12
Agama Kerajaan
: Hindu
Agama seluruh Masyarakat : Hindu, Budha, hyang, Animisme, Dinamisme, Abraham, Islam
(pada sekitar 620 M oleh pangeran sancang)
Diteruskan Oleh
: Kerajaan Sunda
Kerajaan Tarumanegara merupakan
sebuah kerajaan bercorak hindu-budha yang berpusat di sekitar Bekasi dan Bogor,
Jawa Barat. Kerajaan Tarumanegara merupakan kerajaan terbesar yang pernah
bedriri di Tatar Pasundan atau Jawa Barat dengan wilayah kekuasaan meliputi
Seluruh Jawa Bagian Barat (Sekarang menjadi Prov. Jawa Barat, Banten dan DKI
Jakrta) ditambah bagian barat Jawa Tengah dan Sumatera bagian Selatan. Bahkan
menurut beberapa sumber, wilayah Tarumanegara sampai ke Pulau Bali. Kerajaan
ini didirikan oleh Maharajaresi Jayasinghawarman, seorang pengungsi dari calankayana,
India pada tahun 358Masehi.
Raja-raja Kerajaan Tarumanegara
1. Maharajaresi Jayasinghawarman (358 – 382 M)
1. Maharajaresi Jayasinghawarman (358 – 382 M)
Merupakan pendiri kerajaan
Tarumanagara. Beliau menikah dengan Iswari Tunggal Pertiwi Warmandewi / Dewi
Minawati (Putri Dewawarman VIII). Dari pernikahan ini, maka selain dia menjabat
sebagai raja di Tarumanagara, beliau juga termasuk menantu raja Salakanagara
tersebut. Putra sulungnya yang bernama Dharmayawarman kelak menggantikan posisinya
sebagai raja Tarumanagara. Rajadiraja Guru Jayasingawarman wafat dalam usia 60
tahun dan dipusarakan di tepi Sungai Gomati (Bekasi).
2. Maharaja Darmayawarman (382 –395 M)
Beliau memiliki gelar Rajaresi
Darmayawarman-guru. Gelar tesebut diperoleh karena selain menjadi raja, beliau
juga merangkap tugas sebagai pimpinan dari semua guru agama.
Saat itu penduduk Tarumanagara masih
banyak yang menganut keperjayaan pemujaan terhadap roh leluhur sebagai warisan
dari nenek moyang mereka. Dharmayawarman, saati itu giat untuk mengajarkan
agama Hindu kepada penduduknya, bahkan beliau mendatangkan beberapa brahmana
dari India. Tetapi kebanyakan penduduk tetap setia pada kepercayaannya.
Di masa kekuasaannya, tingkatan
penduduk dibagi dalam 4 kasta, yaitu brahmana, ksatria, waisya, dan sudra.
Selain itu, penduduk juga digolongkan kedalam 3 golongan yaitu nista, madya,
dan utama.
Beliau mengundurkan diri dari tahta
kerajaan dan memilih hidup sebagai pertapa (manurajasunya) atau bertapa setelah
turun tahta sambil menunggu ajal tiba. Setelah wafat ia dipusarakan di tepi
Sungai Candrabagha.
3. Maharaja Purnawarman (395 – 434 M)
Merupakan Raja Tarumanagara yang
paling terkenal. Beliau dilahirkan pada tanggal 16 Maret 372 dari pasangan
Dharmayawarman dengan permaisurinya. MaharajaPurnawarman mulai memegang tampuk
kekuasaan Tarumanagara pada tanggal 12 Maret 395 atau dua tahun sebelum ayahnya
wafat. Mahkota yang dikenakan Purnawarman berukiran sepasang lebah.
Raja ini yang dipercaya oleh berbagai
kalangan pada saat itu sebagai penjelmaan dari Dewa Wisnu, merupakan penganut
agama Hindu aliran Waisnawa. Sedangkan mayoritas penduduk di saat itu adalah
memuja roh leluhur. Bentuk agama dan kepercayaan lainnya yang dianut penduduk
Tarumanagara adalah memuja Batara Sangkara (Siwa), Brahma, dan agama Budha (penganutnya paling
sedikit).
Purnawarman menyusun bermacam-macam
pustaka yang berisi tentang undang-undang kerajaan, peraturan angkatan perang,
siasat perang, keadaan daerah-daerah di barat Jawa, silsilah dinasti Warman,
dan kumpulan maklumat kerajaan. Dari pustaka-pustaka yang disusun itulah tak
heran apabila Tarumanagara saat itu telah memiliki sistem pemerintahan yang
baik dan teratur.
Saat Purnawarman memasuki tahun kedua
dari masa kekuasaannya, beliau memindahkan ibukota kerajaan ke sebelah utara
ibukota lama (Jayasingapura). Ibukota baru tersebut diberi nama Sundapura yang
didirikan di tepi Sungai Gomati. Nama Sundapura tersebut mulai digunakan oleh
Purnawarman pada tahun 397. Sundapura mengandung arti Kota Suci atau Kota Murni
yang diambil dari bahasa Sansekerta yakni sudha atau sunddha yang berarti
bersinar, terang, putih, bersih, jernih, murni.
Saat Purnawarman memasuki tahun
ketiga dari masa kekuasaannya, beliau mendirikan pelabuhan pantai yang dibuat
mulai tanggal 15 Desember 398 sampai tanggal 11 November 399. Pelabuhan ini
dijadikan pangkalan perang laut dari Kerajaan Tarumanagara. Setiap kapal perang
kerajaan ini mengibarkan bendera yang bergambarkan naga (nagadhwajarupa).
Purnawarman memiliki gajah perang
yang diberi nama Airawata seperti nama gajah tunggangan Dewa Indra (dalam
mitologi Hindu). Karena itulah, sebelum
beliau bertempur selalu didahului oleh prosesi pemujaan terhadap Dewa Indra
untuk “meminta” kekuatan saat berada di tengah pertempuran. Purnawarman yang
selalu unggul dalam setiap peperangan itu kemudian dijuluki oleh lawan-lawannya
sebagai Wyaghra Ning Tarumanagara atau Harimau Tarumanagara. Julukan lain yang
melekat pada dirinya yang berkaitan dengan keberanian dan penguasaan ilmu
pertempuran adalah bhimaparakramoraja (raja yang dahsyat dan perkasa), Sang
Purandara Saktipurusa (manusia sakti penghancur benteng).
Baju perisai yang dikenakan
Purnawarman tidak pernah tembus oleh tombak musuh-musuhnya (baju zirah miliknya
itu dianggap sama dengan baju zirah milik Dewa Surya). Baju pelindung tersebut
terbuat dari besi dan melindunginya dari mulai kepala sampai kaki. Selain itu,
keberanian Purnawarman yang selalu dapat menghancurkan benteng kota dari
musuh-musuhnya dianggap sama dengan sifat Dewa Indra.
Purnawarman berhasil menundukkan
musuh-musuhnya untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Wilayah Tarumanagara
akhirnya meluas hingga mencakup pantai
Selat Sunda. Di bawah kekuasaan Purnawarman terdapat sekitar 47 Kerajaan
daerah yang membentang dari Rajataputra
(ibukota Salakanagara) sampai ke Purwalingga (sekarang Purbolinggo) di Jawa
Tengah. Kemenangan demi kemenangan dari Tarumanagara saat melakukan perluasan
wilayah ini tak lepas dari angkatan perang baik darat maupun laut yang begitu
banyak, kuat serta lengkap persenjataannya. Adiknya yang bernama Cakrawarman
ditugasi sebagai Mahamantri dan Panglima Perang, sedangkan pamannya yang
bernama Nagawarman diberi jabatan sebagi Panglima Angkatan Laut (Senapati
Sarwajala).
Saat itu, Tarumanagara giat
mengadakan hubungan diplomatik dengan Semenanjung, negeri Syangka, Yawana,
Cambay (India), Sopala, Kutai, Cina, Sumatera, dan lain-lain. Hubungan
diplomatik tersebut biasanya diwakili oleh Nagawarman. Bentuk persahabatan
antara Tarumanagara dengan Kutai adalah dengan menempatkan masing-masing Duta
kerajaannya di ibu kota negeri sahabat.
Hubungan kedua kerajaan tersebut semakin erat setelah Purnawarman
menikah dengan seorang putri dari raja daerah di Kutai.
Tarumanagara dalam kekuasaan
Purnawarman sudah berubah menjadi kerjaan besar di pulau Jawa, dimana tiap
bulan Maret / April setiap tahunnya selalu saja ada raja daerah yang mengirimkan
upeti ke ibukota Sundapura. (penjelasan mengenai kerajaan daerah tersebut,
lihat kerajaan-Kerajaan Bawahan Tarumanagara).
Meskipun kejam terhadap musuh-musuhnya yang
tak mau tunduk pada kekuasaan Tarumanagara, tetapi Purnawarman begitu
menghormati kepada raja-raja daerah yang berbakti padanya. Contohnya, saat para
raja daerah mengirimkan upeti ke Sundapura, 2 hari sesudahnya, Purnawarman
selalu membuat pesta untuk para tamu tersebut sambil menghidangkan makanan dan
minuman yang lezat selama 3 hari berturut-turut, tidak ketinggalan juga pesta
itu dimeriahkan oleh tarian dari gadis-gadis cantik.
Saat kepemimpinannya, beliau selalu
memperhatikan kemakmuran rakyatnya, selain itu juga beliau sangat memperhatikan
pemeliharaan aliran sungai. Pada tahun 410, Purnawarman memprakarsai perbaikan
aliran sungai Gangga (diperdalam dan diperindah bagian tanggulnya) yang
dikerjakan oleh ribuan orang secara karyabhakti. Sungai Gangga ini berada di
daerah Cirebon yang saat itu berada di bawah kekuasaan Kerajaan Indraprahasta
(kerajaan bawahan dari Tarumanagara). Setelah selesai diperbaiki, Purnawarman
mengadakan selamatan dan memberikan hadiah kepada para brahmana dan ribuan
orang yang telah membantu dalam penyelesaian proyek itu. Beliau juga
menghadiahkan 500 ekor sapi, pakaian, 20 ekor kuda, 1 ekor gajah, dan perjamuan
makan yang lezat untuk raja Indraprahasta selaku penguasa setempat.
Pada tahun 412, Purnawarman
memperkokoh parit dan memperindah alur Sungai Cupu yang terletak di Kerajaan
Cupunagara (masih kerajaan bawahan Tarumanagara). Sungai tersebut mengalir
sampai di istana kerajaan. Proyek ini dikerjakan sekitar bulan Juli / Agustus
tahun tersebut dan hanya memakan waktu selama 14 hari. Pada saat upacara
selamatan tanda selesainya proyek ini, Purnawarman menghadiahkan 400 ekor sapi,
pakaian, dan makanan lezat kepada para pegawai proyek saluran air ini.
Baik di tepi sungai Gangga maupun
sungai Cupu, Purnawarman membuat prasasti yang ditulis pada batu sebagai ciri
telah selesainya pekerjaan. Prasasti tersebut ditandai dengan lukisan telapak
tangan dan ditorehkan kata-kata yang memuji dirinya tentang kebesaran, dan
sifat-sifatnya yang diibaratkan sebagai Dewa Wisnu yang melindungi segenap
mahluk di bumi dan di akhir kelak.
Pada tahun 413, Purnawarman
memperkokoh parit dan memperindah aliran Sungai Sarasah / Manukrawa yang
terletak di Kerajaan Manukrawa (kerajaan bawahan Tarumanagara). Proyek ini
dikerjakan selama kurang lebih 2 bulan, antara Oktober/November sampai
Desember/Januari. Pada saat upacara selamatan tanda selesainya proyek ini,
Purnawarman berhalangan hadir dan mengutus Mahamantri Cakrawarman sebagai
perwakilan. Sang Mahamantri bersama pembesar kerajaan lainnya ikut hadir dalam
upacara tersebut dengan mengendarai perahu besar, dan kali ini Purnawarman
menghadiahkan 400 ekor sapi, 80 ekor kerbau, pakaian bagi para brahmana, 10
ekor kuda, 1 buah bendera Tarumanagara, 1 buah patung Wisnu, dan bahan makanan.
Pada tahun 417, Purnawarman memperkokoh dan
memperindah alur Sungai Gomati dan Candrabagha (sungai Candrabagha dahulu
pernah diperindah juga oleh Jayasingawarman). Proyek ini dikerjakan secara
karyabhakti oleh ribuan orang yang bekerja secara berbaris memanjang di setiap
tepian sungai. Pada saat upacara selamatan, Purnawarman memberikan hadiah bagi
para brahmana berupa 1000 ekor sapi, pakaian, dan makanan lezat. Sedangkan
hadiah bagi para pemuka daerah yaitu perhiasan emas dan perak, kuda, dan banyak
lagi. Di tempat itu juga Purnawarman membuat prasasti sebagai tanda akhir
penyelesaian proyek.
Pada bulan Mei/Juni sampai bulan
Juni/Juli tahun 419, Purnawarman memperbaiki, memperteguh alur, dan memperdalam
sungai Citarum (sungai terbesar yang ada di wilayah Tarumanagara). Seperti
proyek yang sudah-sudah, akhir pelaksanaan dari pekerjaan ini digelar upacara
dimana Purnawarman dengan baik hati memberikan hadiah berupa 800 ekor sapi, 20
ekor kerbau, pakaian, makanan lezat, dan hadiah lainnya. Upacara ini juga
ditandai dengan pemberian berkat dari para brahmana untuk sang raja.
Dengan diperbaharuinya aliran-aliran
sungai tersebut, maka manfaat dari sungai semakin terasa. Kini aliran sungai
dapat digunakan sebagai sumber irigasi yang dapat membantu sektor pertanian dan
juga jalur perdagangan di tepian sungai
semakin ramai. Kekeringan pun tidak pernah melanda di seluruh penjuru
negeri Tarumanagara meskipun dalam kondisi kemarau. Kepemimpinan Purnawarman
yang begitu gemilang membuat penduduk semakin kagum dan menaruh hormat kepada
sang raja.
Di tempat-tempat pemujaan yang telah
selesai dibangun, selalu dilukiskan bendera Tarumanagara dan jasa-jasa yang
telah diperbuat oleh Purnawarman. Bendera Kerajaan Tarumanagara pada saat itu
berlukiskan rangkaian bunga teratai di atas kepala gajah Airwata. Sedangkan
materai kerajaan (rajatanda) berupa lempengan (daun) emas berbentuk brahmara
(lebah atau kumbang).
Setelah Purnawarman membawa
Tarumanagara ke dalam masa keemasan, beliau dinobatkan sebagai Maharaja dengan
gelar Sri Maharaja Purnawarman Sang Iswara Digwijaya Bhimaparakrama
Suryamahapurusa Jagatpati.
Dari isterinya yang berasal dari
negeri Kutai, Maharaja Purnawarman memiliki beberapa orang putera puteri. Anak
sulungnya yang bernama Wisnuwarman akhirnya menjadi penerus Kerajaan
Tarumanagara, sedangkan seorang puterinya menikah dengan raja di pulau Sumatera
yang kelak menurunkan keturunan bernama Srijayanasa (pendiri Kerajaan
Sriwijaya).
Maharaja Purnawarman wafat pada
tanggal 24 November 434, dalam usia 62 tahun. Beliau dipusarakan di tepi sungai
Citarum.
Peninggalan berupa prasasti dari
Maharaja Purnawarman yang kini berhasil ditemukan antara lain Prasasti
Ciaruteun, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Pasir Jambu, Prasasti
Cidangiang, Prasasti Pasir Awi, Prasasti Tugu. Semua prasasti peninggalannya
biasanya berupa batu tulis yang berada pada tepian sungai di beberapa daerah.
4. Maharaja Wisnuwarman (434 – 455 M)
Wisnuwarman dinobatkan menjadi raja,
9 hari setelah ayahnya wafat. Penobatan dilaksanakan pada tanggal 3 Desember
434, dengan gelar nobat Sri Maharaja Wisnuwarman Digwijaya Tunggal Jagatpati.
Perayaan penggantian raja baru ini dilaksanakan tiga hari tiga malam.
Berbeda dengan ayahnya yang sangat
tempramental, Wisnuwarman memiliki sifat lebih penyabar dan tidak lekas marah.
Meskipun demikian, sifat pemberani dan ahli bertempur warisan sang ayah tetap
dimilikinya.
Setelah dinobatkan menjadi raja,
Wisnuwarman mengirimkan duta kerajaannya untuk memberitahukan kepada raja-raja
sahabat seperti Cina, India, Syangka, Campa, Yawana, Sumatera, Kutai, Sri
Lanka, Darmanagari, dan yang lainnya. Utusannya tersebut dititipi pesan
pemberitahuan kepada mereka bahwa Wisnuwarman telah menjadi penguasa
Tarumanagara dan mempererat serta melanjutkan tali persahabatan.
Pada tahun ketiga masa
pemerintahannya, Wisnuwarman bersama para pembesar Tarumanagara lainnya serta
didampingi oleh para pendeta melakukan mandi suci (matirta) di Sungai Gangga
(wilayah kerajaan Indraprahasta). Mandi
suci tersebut dilaksanakan secara khusus atas anjuran para brahmana karena di
tahun tersebut , Tarumanagara sering mendapat musibah bencana alam (gempa bumi)
dan gerhana bulan. Tanda-tanda alam tersebut diyakini oleh para brahmana
sebagai pertanda buruk yang akan membawa bencana bagi Tarumanagara. Upacara
mandi suci itu diakhiri dengan pemujaan bagi Batara Wisnu dan Siwa dalam tempat
pemujaan di sekitar sungai Gangga.
Suatu ketika, Wisnuwarman hampir saja
akan terbunuh saat beliau berburu dalam hutan. Percobaan pembunuhan itu
dilakukan oleh 4 orang yang tidak dikenal. Tetapi untung saja pasukan
Bhayangkara (pasukan pengawal raja) dapat membunuh para pembunuh bayaran itu.
Meskipun kepemimpinan dari
Wisnuwarman ini cukup baik, akan tetapi ada seseorang yang bernafsu untuk
menghabisi nyawa Wisnuwarman. Rencana pembunuhan kedua terjadi beberapa bulan
setelah usaha pembunuhan pertama dapat digagalkan. Kali ini “sang dalang” lebih
nekad melakukan aksinya. Seorang pembunuh bayaran diutus untuk menyelinap ke
dalam keraton, dan melakukan pengintaian beberapa hari. Setelah menemukan waktu
yang tepat, pembunuh itu masuk ke kamar tidur raja dengan membawa beberapa
senjata di malam saat Wisnuwarman dan permaisurinya yang bernama
Suklawarmandewi sedang tertidur lelap. Bodohnya, pembunuh bayaran itu malah
gemetar karena terpesona melihat kecantikan sang permaisuri yang sedang
tertidur tanpa busana. Dalam keadaan gemetar, tanpa disadari pedang yang
digenggamnya terjatuh dan membangunkan sang raja. Kemudian Wisnuwarman tanpa
basa-basi langsung melumpuhkan pembunuh tolol itu dengan ilmu bela diri yang
dimilikinya.
Beberapa hari kemudian, pembunuh
tersebut disidangkan dihadapan raja dan pembesar keraton lainnya. Wisnuwarman
yang langsung memimpin persidangan dengan penuh kesabaran mengorek keterangan
dari pembunuh tersebut. Tanpa disangka, ternyata dalang dari semua usaha
pembunuhan ini adalah pamannya sendiri yang bernama Cakrawarman (Mahamantri dan
Panglima Perang Tarumanagara). Dari informasi pembunuh itu, diketahui bahwa
Cakrawarman ingin merebut tahta kerajaan dengan cara menghabisi seluruh
keturunan Wisnuwarman. Semua yang hadir di persidangan merasa terkejut
mendengar laporan itu, karena selama ini mereka sangat menghomati Cakrawarman
yang sangat besar jasanya selama mengemban tugas kerajaan. Bahkan
Cakrawarman pernah menjadi kaki tangan
(orang ke-2 di Tarumanagara) di masa pemerintahan Maharaja Purnawarman.
Sementara itu, sebelum persidangan
dimulai, Cakrawarman bersama pengikutnya telah melarikan diri menuju daerah
Wanagiri. Tindakan ini diambil, karena Cakrawarman telah menduga bahwa pembunuh
utusannya itu akan membeberkan rencana jahatnya di dalam persidangan.
Meskipun usahanya selalu gagal,
Cakrawarman tetap berambisi untuk menjadi penguasa Tarumanagara. Di Wanagiri,
ia bersama komplotannya melakukan huru-hara ke daerah-daerah sekitarnya untuk
mengganggu stabislitas keamanan serta menjatuhkan wibawa Wisnuwarman di mata
penduduk.
Usaha kudeta Wisnuwarman ini didukung
pula oleh 2 menteri Tarumanagara, 2 menteri dari kerajaan Agrabinta dan
Purwanagara, Tumenggung dari daerah Purwalingga, Panglima dari Kerajaan Sabara,
putra mahkota dari Kerajaan Gunung Kidul, dan seorang ksatria dari kerajaan
Nusa Sabay.
Parahnya lagi, beberapa Panglima
tinggi Tarumanagara yang seharusnya sebagai tunggul kerajaan ikut pula
mendukung Cakrawarman dalam usaha perebutan kekuasaan ini. Para panglima tinggi
itu antara lain Panglima Angkatan Perang, Panglima Angkatan Darat (wadya
padati), Wakil Panglima Angkatan Laut, dan Kepala Bhayangkara.
Dengan dukungan penuh (termasuk
prajurit) dari gabungan kekuatan-kekuatan tersebut, maka komplotan Cakrawarman
berhasil menguasai separuh daerah di barat Jawa.
Atas desakan dari rakyat di beberapa
daerah yang selama ini menjadi korban kekerasan komplotan Cakrawarman, akhirnya
Wisnuwarman segera menyiapkan pasukan inti Tarumanagara (yang masih setia)
untuk membasmi para pemberontak itu. Sementara itu, Wisnuwarman juga mengirim beberapa
utusan ke beberapa daerah untuk segera menyiapkan bala bantuan. Beberapa
kerajaan daerah (bawahan Tarumanagara) yang masih setia akhirnya bersedia
membantu dengan mendatangkan pasukannya dan bergabung dengan Tarumanagara.
Kerajaan-kerajaan daerah itu antara lain Ujung Kulon, Sabara, Salakanagara,
Agrabinta dan Legon.
Terjadilah pertempuran antara pasukan
Wisnuwarman dan Cakrawarman, setelah melakukan pertempuran yang sengit, pasukan
Tarumanagara dan sekutunya berhasil menguasai Wanagiri. Tetapi, Cakrawarman bersama pasukannya yang sudah
terdesak berhasil melarikan diri ke sebelah timur dan menyebrangi sungai
Citarum sebelum akhirnya mendirikan markas sementara di hutan yang berada di
wilayah Kerajaan Cupunagara. Cakrawarman memilih wilayah ini karena dia
merupakan menantu dari Prabu Satyaguna (raja Cupunagara). Di wilayah ini,
Cakrawarman memohon izin kepada mertuanya untuk mendirikan “kerajaan tandingan”
bagi Tarumangara. Tetapi Prabu Satyaguna tidak mau mengambil resiko menjadi
sekutu dari pemberontak ini, meskipun sang pemberontak adalah menantunya
sendiri. Raja Cupunagara ini hanya mau membantu memberikan perbekalan dan
senjata dengan syarat Cakrawarman harus segera meninggalkan wilayah
kerajaannya.
Setelah kepentingannya tidak mendapat
restu pihak Cupunagara, maka Cakrawarman dan pasukannya melanjutkan perjalanan
ke arah tenggara dan mendirikan markas baru di Girinata (hutan bagian selatan
wilayah Kerajaan Indraprahasta, di dekat situ terdapat sungai Cimanuk).
Prabu Wiryabanyu (raja Indraprahasta)
mendapat informasi dari Tarumanagara bahwa wilayahnya telah dijadikan sarang
pemberontak, dan dengan segera ia menyiapkan armada perangnya yang terkenal
tangguh untuk mengepung persembunyian Cakrawarman dari arah timur. Pasukan
tambahan yang datang dari Kerajaan Sindang Jero, Kerajaan Wanagiri, dan
Kerajaan Manukrawa semakin memberikan kekuatan bagi pasukan sekutu dari
Tarumanagara ini. Melalui siasat perang
dari Prabu Wiryabanyu, akhirnya pasukan dibagi dua kelompok. Kelompok pertama
dipimpin langsung oleh Prabu Wiryabanyu melalui jalan darat, sedangkan kelompok
kedua dipimpin oleh Panglima Angkatan Laut Indraprahasta dengan menyusuri
sungai Manukrawa (Cimanuk). Setelah masing-masing kelompok menggerakan
pasukannya, tibalah kedua kelompok itu di pos pertama. Mereka mendirikan tenda
disitu sambil menunggu kedatangan bala bantuan tambahan dari Kerajaan
Singanagara, Kerajaan Sundu Gumita, dan Kerajaan Bumi Sagandu.
Setelah gabungan pasukan dari 7
kerajaan bawahan Tarumanagara itu semua berkumpul, malam harinya Prabu
Wiryabanyu sebagai pimpinan perang dari semua kerajaan memerintahkan seluruh
pasukannya untuk bersiap-siap menyerang komplotan Cakrawarman saat fajar
datang.
Serangan sekutu Tarumanagara dengan
kekuatan besar, datang dari berbagai penjuru serta dilakukan secara mendadak.
Cakrawarman dan pasukannya terlihat kewalahan dan banyak yang tewas. Meskipin
begitu, beberapa panglima tinggi Tarumanagara yang membelot masih bisa
memberikan perlawanan. Cakrawarman yang melihat Prabu Wiryabanyu memimpin
pasukan musuhnya, marah dan segera menghampiri raja Indraprahasta itu. Namun
sebelum sampai menghadang Prabu Wiryabanya, pasukan bhayangkara yang
bersenjatakan tombak dan panah telah terlebih dahulu merobohkan Cakrawarman
hingga tewas.
Dalam peristiwa itu, sebagian besar
komplotan Cakrawarman termasuk pembesar-pembesarnya tewas. Sedangkan beberapa
komplotan yang terluka dibawa ke Jayasingapura (ibu kota Tarumanagara) untuk
diadili. Mereka yang benar-benar terlibat kemudian dihukum mati, sedangkan yang
hanya ikut-ikutan dikenai denda.
Prabu Wiryabanyu dan seluruh orang
yang berjasa dalam aksi penumpasan itu diberi hadiah oleh Wisnuwarman. Beberapa
jabatan tinggi yang selama ini dipegang oleh para pembelot langsung diganti
oleh orang-orang dan panglima dari Kerajaan Indraprahasta.
Prabu Wisnuwarman memiliki dua orang
permaisuri, yang pertama bernama Suklawarmandewi (adik dari raja Kutai), dan
yang kedua bernama Suklawatidewi (puteri Prabu Wiryabanyu). Dari permaisuri
yang pertama, Wisnuwarman tidak memiliki keturunan, karena sang permaisuri
wafat dalam usia muda disebabkan penyakit lambung yang berkepanjangan. Penerus
selanjutnya tahta Tarumanagara jatuh pada Indrawarman (puteranya dari isteri
kedua).
5. Maharaja Indrawarman (455 - 515 M)
Sebagai raja Tarumanagara ke-5,
beliau diberi nama nobat yaitu Sri Maharaja Indrawarman Sang Paramarta
Saktimahaprabawa Lingga Triwikrama Buanatala.
Dalam menjalankan pemerintahannya,
Indrawarman dibantu oleh beberapa bawahan yang setia. Orang-orang
kepercayaannya itu antara lain :
Karabawarman (pamannya), menjabat
sebagai menteri
2.
Widalawarman (adiknya), menjabat sebagai menteri angkatan perang.
Dalam pemerintahan Indrawarman,
kerajaan yang dipimpinnya memperoleh kemakmuran dan kesejahteraan. Perdagangan
melalui jalur laut semakin berkembang. Karena itu gelombang pendatang ke
Tarumanagara semakin banyak mengalir dan diterima dengan penuh persaudaraan.
Stabilitas keamanan pun semakin kuat karena pengaruh prajurit Indraprahasta yang kini setia mengabdi pada
Tarumanagara.
Indrawarman adalah seorang raja
yang sangat toleran terhadap perkembangan agama di wilayahnya. Meskipun beliau
dan sebagian besar lingkungan keraton memeluk agama Wisnu, tetapi para penduduk
dibebaskan dan dihormati dalam hal memilih kepercayaan yang dianut.
Indrawarman memiliki beberapa orang
putera dan puteri, diantaranya adalah :
1. Candrawarman, sebagai putra
mahkota yang kelak menggantikannya.
2. Komalasari, puteri ini menikah
dengan menteri dari kerajaan Kendari.
3. Santawarman, memilih menjadi
seorang brahmanaresi.
6. Maharaja Candrawarman (515 – 535 M)
Beliau dinobatkan sebagai raja
Tarumanagara ke-6 dengan gelar Sri Maharaja Candrawarman Sang Harimangsa
Purusakti Suralagawagengparamarta. Setelah penobatannya, beliau mengirimkan
duta kerajaan untuk menyampaikan surat pemberitahuan mengenai penobatannya
sebagai raja Tarumanagara yang baru.
Di masa kekuasaannya, Tarumanagara
dalam keadaan yang tentram damai dan sejahtera. Sikap toleran ayahnya kepada
para pemeluk agama tetap dipakai oleh Candrawarman.
Pada tahun 532, sikap toleransi itu
semakin melebar kepada sikapnya dalam memerintah terutama pada raja-raja daerah
yang selama ini telah teruji kesetiaannya. Kebijakan ini diambil sebagai hadiah kepada
daerah-daerah tersebut, yang dianggap setia kepada Tarumanagara. Saat itu
banyak dari kerajaan daerah yang sebelumnya pernah ditaklukan Purnawarman
diberikan kemerdekaan.
Candrawarman memiliki 4 orang anak,
mereka itu antara lain :
1. Suryawarman, kelak menggantikan kedudukan
Candrawarman.
2. Mahisawarman, menjadi menteri
Kerajaan Tarumanagara.
3. Matsyawarman, menjadi panglima
angkatan laut Tarumanagara.
4. Dewi Bayusari, diperistri oleh
putra mahkota Kerajaan Pali (Sumatera tengah dan Utara).
Candrawarman wafat pada bulan
Februari / Maret tahun 535.
7. Maharaja Suryawarman (535 – 561 M)
Merupakan Raja Tarumanagara yang
ke-7. Beliau dinobatkan menjadi raja
setelah ayahnya wafat, dan beliau diberi gelar Sri Maharaja Suryawarman Sang Mahapurusa Bimaparakrama Hariwangsa
Digwijaya. Seperti tradisi raja-raja Tarumanagara sebelumnya,
Suryawarman pun mengirimkan
duta kepada kerajaan sahabat yang
memberitahukan bahwa Candrawarman telah wafat dan kini kekuasaanTarumanagara
dipegang oleh dirinya. Kerajaan sahabat itu antara lain negara-negara di
sebelah barat dan timur Semenanjung (termasuk Cina) dan kerajaan-kerajaan di
Nusantara.
Dalam masa kekuasaannya, Suryawarman
membawa Tarumanagara ke dalam puncak kebesarannya. Wilayah timur yang
sebelumnya kurang diperhatikan, menjadi prioritas utama dalam pengembangan
potensi kerajaan. Seperti juga kebijakan politik ayahnya, Suryawarman pun
melakukan hal yang serupa, dimana daerah-daerah yang belum merdeka akhirnya
dibebaskan. Tidak hanya itu, daerah-daerah tersebut diberikan hak otonom penuh
untuk mengurus pemerintahannya sendiri dan pergantian kekuasaan di tiap daerah
diserahkan kepada keturunan penguasa setempat. Beliau memiliki 3 orang anak,
antara lain :
1. Kretawarman, kelak menjadi raja
Tarumanagara selanjutnya.
2. Sudawarman, sejak kecil tinggal di
Kanci (India Selatan) dan kemudian menikah dengan adik dari raja Palawa.
3. Tirtakancana, yang kemudian
menikah dengan Maharesi Manikmaya (raja Kerajaan Kendan).
Dari Manikmaya inilah Suryawarman
mendapatkan cucu yang bernama Rajaputra, cucunya ini tinggal di Ibukota
Tarumanagara bersama Suryawarman (kakeknya). Kemudian Rajaputra menjadi
Panglima Angkatan Perang Tarumanagara.
Suryawarman meninggalkan sebuah
prasasti yang dibuat pada tahun 458 Saka atau 536 Masehi dalam bentuk batu
tulis. Beberapa abad kemudian, prasasti peninggalannya ditemukan di sebuah
tepian sawah yang berada dalam wilayah Kampung Muara (Cibungbulang), Bogor.
Pada prasasti tersebut, angka tahunnya bercorak "sangkala" yang
mengikuti ketentuan "angkanam vamato gatih" (angka dibaca dari kanan)
dan terdiri dari 4 baris. Isi dari prasasti tersebut adalah (terjemahannya
menurut Bosch) :
ini sabdakalanda rakryan juru panga
mbat i kawihaji panyca pasagi marsa
ndeca barpulihkan haji sunda
"Ini tanda ucapan Rakryan Juru
Pengambat dalam (tahun Saka) (8) panca (5) pasagi (4), pemerintahan daerah
dipulihkan kepada raja Sunda".
Kata “raja Sunda” dalam prasasti ini
bermaksud untuk menyebutkan jati diri dari Suryawarman selaku raja Tarumanagara
yang saat itu beribukota di kota Sundapura.
8. Maharaja Kretawarman (561 – 628 M)
Beliau merupakan raja Tarumanagara
ke-8, yang bergelar Sri Maharaja Kretawarman Mahapurusa Hariwangsa Digwijaya
Salakabumandala. Pada tahun 565, Kretawarman mengadakan hubungan diplomatik dengan
Cina, India, Syangka, Yawana, Campa, Kamboja, Sopala, Gaudi (Benggala),
Semenanjung, Singanagara, dan Mahasin (Singapura). Melalui utusannya, beliau
bermaksud untuk melanjutkan jalinan kerjasama seperti raja-raja Tarumanagara
sebelumnya dengan negara-negara sahabat.
Salah satu utusan Tarumanagara yang
dikirimkan ke Cina, pernah mendapat rintangan di tengah perjalanannya. Ketika
itu, mereka baru sampai di Laut Cina, dan dihadang oleh kawanan bajak laut.
Maka terjadilah pertempuran antara pihak Tarumanagara dengan perompak kapal
tersebut. Di saat pertempuran berlangsung, kapal angkatan laut Cina datang
membantu dan akhirnya para bajak laut itu bisa dikalahkan. Mayat-mayat para
perompak itu ditumpuk menjadi satu di atas geladak kapalnya, dan kemudian dibakar
oleh prajurit Cina. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, akhirnya
kapal utusan Tarumanagara mendapat pengawalan khusus dari kapal perang Cina
hingga sampai ke negeri tirai bambu tersebut.
Kretawarman memiliki permaisuri yang
berasal dari Kerajaan Calankayana. Tetapi di suatu saat, Kretawarman bertemu
dengan seorang gadis yang akhirnya menjadi pangkal bencana di Kerajaan
Tarumanagara.
Pertemuan dengan gadis itu terjadi
saat sang raja berburu di hutan dekat sungai Candrabagha. Di hutan tempat Cakrawarman
berburu terdapatlah sebuah pondok milik keluarga yang berprofesi sebagai
pencari kayu bakar. Kecantikan dari anak pencari kayu bakar, membuat
Kretawarman kagum. Beberapa saat kemudian, seorang saudagar Sumatera yang
mengetahui Kretawarman menyukai gadis itu akhirnya membawa sang gadis ke
Sumatera dan memberinya nama Satyawati. Setelah Satyawati dewasa akhirnya
saudagar Sumatera itu menghadiahkan Satyawati pada Kretawarman.
Di masa-masa awal, Satyawati hanya
dijadikan sebagai seorang selir bagi Kretawarman, namun rupanya Satyawati
menginginkan menjadi permaisuri (istri raja yang syah). Dikarenakan
Kretawarman tidak mempunyai keturunan
dari permaisurinya, maka Satyawati merancang skenario yang seolah-olah dia sedang
mengandung seorang anak dari Kretawarman. Sang raja yang sangat mengharapkan
keturunan sedangkan permaisurinya yang syah tak kunjung memberinya keturunan,
Kretawarman saat itu merasa senang mendengar kabar bahwa Satyawati sedang mengandung.
Karena keadaan itu, maka Kretawarman
akhirnya menjadikan Satyawati sebagai permaisuri. Setelah maksudnya tercapai,
akhirnya Satyawati mengaku kepada Kretawarman bahwa kandungannya itu hanyalah
sebuah rekayasa belaka. Namun karena
cintanya yang teramat sangat pada Satyawati, Kretawarman tidak bisa berbuat
apa-apa dan beliau sendiri menyadari bahwa selama ini dirinya memang mandul.
Untuk menutupi rekayasa selama ini, akhirnya Kretawarman dan Satyawati
memutuskan untuk mengangkat seorang anak yang diberi nama Brajagiri. Sama
halnya silsilah Satyawati, anak yang diangkatnya ini juga merupakan seorang
anak dari pencari kayu bakar.
Sepandai-pandainya mereka
menyimpan rahasia, akhirnya
rahasia itu terbongkar juga dan
menjadi pergunjingan di lingkungan keraton. Mereka mencela perbuatan
Kretawarman yang telah menikahi dan mengangkat anak dari kasta sudra. Tradisi
kerajaan yang saat itu dipegang teguh, menegaskan bahwa seorang wanita sudra
tidak boleh dijadikan istri oleh sang raja.
Karena itulah, Kretawarman telah dianggap melakukan pelanggaran besar.
Meskipun demikian, tahta yang
dipegang oleh Kretawarman tetap tak tergoyahkan. Bahkan, Brajagiri diangkat
oleh Kretawarman sebagai senapati kerajaan. Kritikan tajam mengenai
kebijakannya ini tak dihiraukan oleh sang raja yang saat itu didukung oleh
bhayangkara yang sangat setia padanya. Saat Kretawarman wafat, tahta Tarumanaga
segera diambil alih oleh adiknya yang bernama Sudawarman.
9. Maharaja Sudawarman (628 – 639 M)
Dinobatkan sebagai raja Tarumanagara
ke-9 dengan gelar Sri Maharaja Sudawarman Mahapurusa Sang Paramartaresi
Hariwangsa. Beliau sejak kecil tinggal di Kanci (wilayah Kerajaan Palawa di
India Selatan), dan datang ke Tarumanagara untuk mengisi kekosongan kekuasaan
setelah kakaknya tidak mempunyai keturunan.
Sudawarman memiliki sikap penyabar
dan berbudi luhur. Karena itulah, Brajagiri yang selama ini kehadirannya sering
menimbulkan kontra di lingkungan istana tetap dipertahankan jabatannya sebagai
senapati. Namun sikap baik yang dimilikinya itu tidak dapat mengangkat pamor
Tarumanagara yang mulai menurun. Kebesaran Tarumanagara mulai tertandingi oleh
kerajaan-kerajaan baru yang mulai muncul di saat itu. Di wilayah barat Jawa
sendiri, saat itu muncul Kerajaan Galuh.
Beliau memiliki seorang permaisuri
yang dinikahinya saat masih berada di India. Permaisuri tersebut merupakan adik
dari Mahendrawarman (raja Kerajaan Palawa).
Dari pernikahan dengan permaisuri yang tidak diketahui namanya itu, Sudawarman
memiliki seorang putera yang bernama Dewamurti.
10. Maharaja Dewamurti (639 – 640 M)
Raja ini dilahirkan dan dibesarkan
di India dan menjadi raja Tarumanagara ke-10 menggantikan ayahnya yang wafat.
Saat penobatan, beliau diberi gelar Sri Maharaja Dewamurtyatma Hariwangsawarman
Digwijaya Bimaparakarma. Beliau memiliki 2 orang anak,
antara lain :
1.
Mayasari, Puterinya ini kemudian menikah dengan raja Cupunagara yang
bernama Nagajaya.
2.
Astuwarman, kelak menjadi Purohita (pendeta tertinggi istana).
Dewamurti memiliki perangai yang
keras serta tidak mengenal belas kasihan, sikap ini mungkin didapatkan dari
tempaan tradisi dan budaya India yang lebih keras daripada Tarumanagara.
Dewamurti sangat membenci Brajagiri
(anak angkat uwaknya) yang dianggap dapat mengganggu kekuasaannya, dan ketidak
senangannya ini diperlihatkan secara terang-terangan. Dewamurti menunjukan
sikap bukan seperti ksatria umumnya, beliau
seringkali mencela dan memperolok Brajagiri di depan khalayak. Brajagiri
yang selama ini menjabat sebagai senapati, diturunkan jabatannya menjadi
penjaga gerbang keraton. Selain itu, Brajagiri pun dikucilkan dari lingkungan
keraton.Seperti tradisi di India yang begitu ekstrim terhadap penggolongan
kasta, maka Dewamurti memberikan jabatan perwira rendahan (hulu ning wira
kanista) kepada Brajagiri dengan dalih bahwa seorang berkasta sudra tidak
pantas memegang jabatan tinggi.
Sikap pelecehan Dewamurti terhadap
Brajagiri, membuat mantan senapati itu sakit hati. Meskipun berusaha untuk
sabar, tetapi Brajagiri akhirnya tidak dapat menahan diri lagi. Setelah
menunggu waktu yang tepat, Brajagiri berhasil membunuh Dewamurti.
Pembunuhan ini murni atas balasan
sakit hatinya, bukan usaha untuk mengkudeta kekuasaan. Karena itulah,
perbuatannya dilakukan seorang diri tanpa melibatkan orang lain atau membentuk
suatu komplotan. Setelah berhasil membunuh sang raja, Brajagiri melarikan diri
di hutan.
Persembunyian Brajagiri, diketahui
oleh menantu dari Dewamurti yang bernama Nagajaya (raja Kerajaan Cupunagara).
Atas dasar membalas kematian dari mertuanya, akhinrnya Nagajaya betarung dengan
Brajagiri. Pertarungan sengit itu dimenangkan oleh Nagajaya dan Brajagiri tewas
di tangannya.
11. Maharaja Nagajayawarman (640 – 666 M)
Beliau merupakan suami dari Mayasari
(puteri sulung Dewamurti). Setelah mertuanya dibunuh oleh Brajagiri, maka
Nagajaya naik tahta untuk menggantikan mertuanya. Saat penobatan, raja
Tarumanagara ke-11 ini diberi gelar Sri Maharaja Nagajaya Warman Darmasatya
Cupujayasatru.
Di masa kekuasaannya, Nagajayawarman
mengangkat adik iparnya yang bernama Astuwarman sebagai purohita (pendeta
tertinggi istana). Dari pernikahannya dengan Mayasari, raja ini mempunyai
beberapa orang anak. Putera sulungnya yang bernama Linggawarman menjadi penerus
kerjaan Tarumanagara.
12. Maharaja Linggawarman (666 – 669 M)
Merupakan Raja Tarumanagara ke-12
atau bisa dikatakan juga merupakan Raja Tarumanagara yang terakhir. Saat
penobatan, beliau diberi gelar Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa
Panunggalan Tirtabumi. Penobatan itu dilaksanakan pada tanggal 1 April 666.
Linggawarman hanya memerintah selama tiga tahun, karena ia wafat pada tahun
669.
Beliau memiliki permaisuri yang
bernama Ganggasari (puteri Prabu Wisnumurti / raja Indraprahasta ke-11). Dari
pernikahannya ini, mereka dikaruniai
dua orang puteri, mereka itu antara
lain :
1.
Dewi Manasih, menikah dengan Tarusbawa (berasal dari Sunda Sembawa).
2. Sobakancana, menikah dengan
Dapuntahyang Sri Jayanasa (pendiri
Kerajaan Sriwijaya).
Setelah Linggawarman wafat di tahun
669, tampuk pimpinan Tarumanagara diserahkan pada menantunya yang bernama
Tarusbawa. Namun Tarusbawa, mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda.
Peninggalan
Beberapa peninggalan dari kerajaan
Tarumanegara antara lain: tujuh prasasti yang tersebar di 3 wilayah yakni 1 di
Banten, 5 di Jawa Barat dan 1 di DKI Jakarta. Prasasti-prasasti tersebut antara
lain :
1. Prasasti Ciaruteun, ditemukan di aliran sungai Ciaruteun, Kabupaten Bogor.
2. Prasasti Kebon kopi, ditemukan di lahan perkebunan kopi milik Jonathan Rig tidak jauh dari penemuan prasasti Ciaruteun.
3. Prasasti Pasir Jambu, ditemukan di puncak pasir (bukit) koleangkak, Desa Panyaungan, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor.
4. Prasati Cidanghiyang, ditemukan di aliran sungai Cidangjhiyang, Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang.
5. Prasasti Tugu, ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya (Cilincing), Jakarta Utara.
6. Prasasti Muara Cianten, ditemukan di tepi Sungai Cisadane dekat Muara Cianten yang dahulu dikenal dengan sebutan Prasasti Pasir Muara kerana memang masuk ke wilayah Kampung Pasir Muara.
7. Prasasti Pasir Awi, ditemukan di lereng Selatan Pasir Awi (559 m) di kawasan perbukitan Cipamingkis, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor.
Sumber : Buku Sejarah Sunda (Juganing Rajakawasa) karya Drs. Yoseph
Iskandar
Sumber Gambar : Wikipedia.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar